Senin, 16 Maret 2009

Pembiayaan Pendidikan

Artikel Pertama
Judul : DANA PENDIDIKAN DI AMERIKA SERIKAT

Pendidikan di Amerika Serikat merupakan kegiatan besar. Sejak tahun 1990, $ 215 milyar telah dikeluarkan setiap tahunnya untuk pendidikan umum. Kebutuhan biaya sekolah pertumbuhannya lebih cepat daripada inflasi, sehingga sekolah menghadapi permasalahan keuangan yang serius, Anggota Badan Sekolah, yang terdiri dari orang-orang yang sangat memahami masalah keuangan sekolah, menetapkan 'kurangnya dukungan keuangan' sebagai masalah utama dari lima permasalahan yang meraka hadapi, tiga diantaranya berhubungan dengan biaya sekolah (kurangnya sumber keuangan, fasilitas yang overcrowded dan peningkatan pajak properti). Ada tiga sumber utama dukungan anggaran untuk sekolah umum, yaitu dana dari pemerintah lokal, state dan federal. Biaya pendidikan dari pemerintah federal sejak tahun 1929 cenderung terus meningkat dari 0,4% menjadi 9,3% pada tahun 1981 dan menurun menjadi 6,2% tahun 1991, sedangkan dukungan biaya dari pemerintah negara bagian cenderung terus meningkat dari 19,29% pada tahun 1929 menjadi 49,3 % pada tahun 1991, sedangkan dukungan dari pemerintah lokal pada awalnya persentasenya tinggi yaitu 82,7% tetapi terus menurun mencapai 44,5% pada tahun 1991. Sebagaimana tabel berikut ini : SUMBER PAJAK UNTUK PENDAPATAN SEKOLAH Kegiatan sekolah umum bergantung terutama pada pendapatan yang dihasilkan dari pajak, khususya pajak properti pada level lokal, pajak penjualan dan pendapatan pada level negara bagian. Masyarakat umum menerima pajak apabila : 1. Pajak tidak menyebabkan distorsi ekonomi (perubahan perilaku ekonomi dalam pola belanja atau relokasi bisnis, industri dan penduduk). 2. Pajak harus equitable (memperhatikan kemampuan wajib pajak). 3. Pajak harus memberi kemudahan (pajak dikumpulkan dengan biaya yang rendah bagi wajib pajak dan pemerintah) 4. Pajak harus responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi. PENDANAAN LOKAL UNTUK SEKOLAH UMUM Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kontribusi pemerintahan lokal terhadap pendanaan sekolah telah menurun pada beberapa dekade terakhir, sedangkan kontribusi dari pemerintah negara bagian meningkat. Walaupun demikian, dana dari pemerintah lokal tetap merupakan bagian penting dalam pendanaan sekolah. Pajak Properti Pajak properti merupakan sumber utama pendanaan untuk sekolah lokal, yang perhitungannya dikaitkan dengan nilai jual objek pajak dan pajak penjualan. Pajak properti tidak selamanya mudah untuk dikumpulkan tergantung pada efisiensi dari departemen pajak di pemerintahan lokal. Pajak dan Biaya Lokal lainnya Untuk menambah dana, selain dari pajak properti, sekolah lokal dapat mengumpulkan pendanaan melalui pajak pemasukan khusus dan pajak-pajak atau biaya lainnya, misalnya menarik biaya dari fasilitas dan layanan yang digunakan, seperti pelayanan bis, buku teks, aktivitas atletik, rekreasi, dan kegiataan setelah sekolah Sumber Lokal dan Keragamannya Meskipun mendapat bantuan dari pemerintahan negara bagian dan federal, beberapa sekolah lokal kurang mampu mendukung biaya pendidikan. Suatu sekolah yang lokasinya di daerah yang kaya dengan dasar pajak yang tinggi dapat menghasilkan lebih banyak pendanaan dibandingkan sekolah di wilayah miskin. Walaupun permasalahan keuangan mempengaruhi banyak wilayah pedesaan dan kota/kabupaten, permasalahan keuangan terbesar biasanya terjadi pada kota besar yang dikenal dengan istilah "municipal overburden" (Tuntutan keuangan yang keras pada masyarakat karena kerapatan populasi dan income masyarakat yang rendah), sehingga kota besar tidak dapat menyediakan persentase pendanaan yang tinggi dari pajak untuk sekolah dibandingkan yang dapat disediakan oleh wilayah pedesaan dan kota/kabupaten. Sekolah-sekolah di kota harus mengeluarkan lebih banyak sumber dana pendidikan per siswa dibandingkan sekolah-sekolah di desa. Sekolah di perkotaan memerlukan biaya untuk kerusakan, biaya makan siang, biaya ansuransi dan biaya perawatan yang lebih besar Biaya negara bagian untuk sekolah umum. Negara memiliki tanggungjawab terhadap sekolah umum. Setiap tahun memberi dukungan dan tanggungjawab kepada sekolah lokal. Ini merupakan tanggungjawab negara terhadap pendidikan anak dan remaja. Sejak beberapa sekolah lokal mendapat masalah dalam biaya pendidikan. Negara bagian memberikan tanggungjawab dan mengambil alih pembiayaan sekolah. Sumber penghasilan negara bagian. Pajak penjualan dan pajak pribadi merupakan dua sumber utama penghasilan negara. Sejak negara membiayai 60 % biaya pendidikan , dua pajak ini yang sangat mendukung pendidikan umum. Pajak penjualan secara administrasi pengumpulannya lebih mudah. Permasalahan timbul bila penjualan terjadi antara negara bagian, sebab negara bagian satu tidak mau membayar pajak penjualan ke negara bagian lain. Pajak penghasilan pribadi merupakan sumber penghasilan terbesar kedua, pada tahun 90 menhasilkan 31 % dari total penghasilan pajak negara bagian. Semestinya pajak pendapatan tidak menyebabkan "Economic Distortions" . Pajak yang tinggi bukan jalan keluar untuk memberikan hak keadilan. Secara teori pajak penghasilan merupakan refleksi dari pendapatan pembayar pajak dan kemampuan untuk membayar. Jenis pajak lain diperoleh dari pajak bahan bakar kendaraan, pajak minutan keras, pajak tembakau, pajak pesangon, pajak perusahaan. Sumber lain juga diperoleh dari pajak lotere di 9 negara bagian ( Calofornia, Florida, Ilonius, Michigan, Montana, New Hampshire, New Jersey, New Cork, dan Ohio). Kemampuan Negara Bagian Untuk Membiayai Pendidikan Sebagian relajar lebih beruntung dari pelajar lainnya. Masing-masing negara bagian berbeda dalam type dan kualitas pendidikan yang diterima anak didik. New Jersey, dan New York penyediaan anggaran pendidikan sekitar $ 8.000 per siswa pertahun pada tahun 1990-91, Alaska mendekati $ 7.000. Untuk melihat jumlah biaya pendidikan masing-masing negara bagian, dan kontribusi dari pemrintah pusat, dan yang disediakan local dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : BANTUAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK SEKOLAH DISTRIK LOKAL Negara bagian menggunakan empat metode dasar untuk membiayai pendidikan publik. Beberapa negara bagian memiliki strategi keuangan dengan kombinasi metode. 1. Model Flat Grant Merupakan metode tertua, paling sederhana dan paling tak seimbang dalam pembiayaan sekolah. Bantuan negara kepada sekolah distrik lokal berdasarkan suatu jumlah tertentu yang dikalikan dengan jumlah siswa. 2. Foundation Plan Merupakan pendekatan yang paling umum, tujuannya adalah untuk menjamin suatu pengeluaran minimum tahunan per siswa untuk semua sekolah distrik di negara bagian. 3. Power-equalizing Plan Banyak negara bagian yang mulai mengadopsi beberapa bentuk dari rencana terbaru. Negara bagian membiayai suatu persentase pengeluaran dari sekolah lokal dalam ratio kebalikan terhadap kekayaan distrik. 4. Weighted student Plan Para siswa weighted secara proporsi pada karakteristik spesial mereka (cacat dll) atau program khusus (bilingual dll) untuk menentukan biaya pendidikan per siswa. Pengadilan dan Perbaikan Keuangan Sekolah Usaha mengunakan pembiayaan negara bagian untuk meratakan kesempatan pendidikan diantara sekolah distrik dalam negara begian, telah didukung oleh keputusan pengadilan yang merubah secara fundamental pembiayaan pendidikan publik di kebanyakan negara bagian. Keputusan tahun 1971 di Serrano v. Priest secara radikal merubah pola California dalam mengalokasikan biaya pendidikan. California bergantung pada pajak kekayaan lokal untuk mendukung sekolah-sekolah, dan penuntut berpendapat bahwa sistem keuangan ini dihasilkan pada perbedaan unkonstitutional dalam pengeluaran antara sekolah distrik kaya dan miskin.Pengadilan Tinggi California menyetujui, menyatakan hal berikut ini: "Kami telah memutuskan bahwa....Skema keuangan (California) mendiskriminasikan yang miskin karena ia membuat kualitas dari pendidikan anak-anak sebagai suatu fungsi dari kekayaan dari orangtuanya dan sekelilingnya". Dengan mengikuti keputusan Serrano, lebih dari 30 kasus yang mirip berhasil diselesaikan di negara bagian lainnya. Salah satunya adalah kasus San Antonio Independent School District v Rondriguez, yang dibawa ke Pengadilan Tinggi Amerika Serikat setelah pengadilan federal menyatakan bahwa penataan keuangan sekolah di Texas unkonstitusional. Kemudian Pengadilan Tinggi pada tahun 1973 menyatakan bahwa perbedaan pengeluaran didasarkan perbedaan pajak kekayaan lokal diantara sekolah distrik dalam suatu negara bagian tidak unkonstitusional dibawah konstitusi federal tetapi unskonstitusional dibawah konstitusi negara bagian tergantung pada situasi dan peraturan hukum di negara bagian tersebut. Keputusan Rondriguez menempatkan isu inequities dalam keuangan sekolah ditangan pengadilan negara bagian dan legislatif. Lebih dari 25 negara bagian telah memperbaiki aturan keuangan sekolah mereka sejak kasus Rondriguez ini. Dari sejumlah kasus dan debat yang ada terdapat isu equity-kepercayaan bahwa siswa di sekolah distrik miskin "memiliki hak kesempatan pendidikan yang sama". Beberapa kritik mengenai perbaikan keuangan sekolah telah menyatakan bahwa 'uang saja' akan membuat perubahan yang kecil dalam kualitas pendidikan; penelitian selama 25 tahun menunjukan bahwa uang tidak selalu berhubungan dengan peningkatan pendidikan, yang terpenting adalah komitmen dan tanggungjawab dari para siswa, guru dan orangtua. DANA PENDIDIKAN FEDERAL Sampai pertengahan abad ke-20, pemeintah federal hanya memberikan perhatian yang kecil terhadap pembiayaan pedidikan di Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan kepercayaan bahwa pemerintah federal seharusnya tidak mempunyai kewajiban terhadap pendidikan dan pendidikan merupakan tanggungjawab negara bagian. Tetapi bukan berarti tidak ada pengaruh federal terhadap pendidikan Amerika. Hukum nasional dan program-program federal memiliki pengaruh signifikan dalam hal pengembangan pendidikan. Berikut ini akan dibahas keutamaan dari program ini, tetapi yang harus di ingat adalah program-program ini dan pelaksanaannya tidak terkoordinasi, mereka bukan bagian dari penyusunan rencana national untuk pendidikan. SEJARAH BANTUAN FEDERAL UNTUK PENDIDIKAN Bantuan untuk sekolah dan perguruan tinggi. Peraturan Northwest pada 1785-1787 adalah contoh pertama mengenai peranan federal dalam pendidikan. Sebagai dampak dari peraturan ini, 39 negara bagian menerima lebih dari 154 juta hektar tanah untuk sekolah. Program kedua dari pemerintah federal untuk pendidikan yang dikenal dengan Morril Act pada tahun 1862. Federal meminjamkan tanah yang di set untuk masing-masing negara bagian dengan ketetapan bahwa income dari penjualan atau penyewaan tanah ini dapat digunakan untuk membangun perguruan tinggi untuk studi agrikultur dan teknik. Morril Act menujukkan bahwa pemerintah federal akan bergerak dalam pendidikan untuk kesejahteraan negara; hal ini menandai dimulainya pengaruh federal yang penuh arti dalam pendidikan tinggi. Pendidikan pariwisata. Fase ketiga dari aktivitas federal dalam pendidikan publik adalah bantuan kondisional untuk tujuan yang sangat khusus pada sekolah menengah publik. Seperti Smith-Hughes Act pada tahun 1917 yang menyediakan bantuan keuangan untuk pendidikan pariwisata, ekonomi rumah tangga dan pendidikan agrikultur. Hal ini terus berlanjut dengan aksi lainnya antara tahun 1929 dan 1984. Legaslasi 1984 yang disebut Perkins Vocational Education Act, melanjutkana pendanaan untuk orang-orang cacat, orangtua tunggal. Relief Acts. Fase keempat dari aktivitas federal berlangsung sepanjang Great Depression. Ketertarikan federal mengenai sekolah pada saatu itu hanya insidental terhadap perhatian yang besar mengenai kesejahteraan bagi kaum muda pengangguran usia 16 sampai 25. Untuk mengatasi masalah ini dibentuk Civilian Conservation Corps (CCC) untuk pendidikan dan pelatihan pariwisata di tahun 1933. Hampir sebagian dari kaum muda yang bergabung tidak selesai sekolah dan beberapa diantaranya buta huruf. Program lainnya pada masa great depression adalah National Youth Administration (1935) yang meyediakan kesejahteraan dan program-program pelatihan serta bantuan dan untuk melanjutkan sekolah. Federal Emergency Relief Administrtion (1933) yang mengalokasikan dana untuk guru-guru pedesaan; Public Works Administration (1933) dan Works Progress Administration (1935), keduanya menyediakan uang federal untuk konstruksi dan perbaikan sekolah. War Acts. Fase kelima dari aktivitas federal berlangsung sepanjang Perang Dunia II dan pertengahan setelah perang berakhir (postwar). Lanham Act (1941) menyediakan bantuan untuk konstruksi dan perawatan sekolah lokal di wilayah tinggal personel militer atau tempat dimana mereka melaksanakan tugas federal. Occupational Rehabilitation Act (1943) menyediakan pendidikan dan pengawasan pekerjaan pada veteran cacat. Servicemen's Readjusment Act (1944) yang umum disebut G.I.Bill, meyediakan dana untuk pendidikan bagi veteran dan ratusan ribu orang Amerika yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah lanjutan atau sekolah pelatihan khusus. G.I. Bill adalah faktor utama dalam pertumbuhan dan pengembangan perguruaan tinggi Amerika. Perang Dingin dan Soviet muncul di Sputnik tahun 1957 meningkatkan tekanan untuk sekolah warga Amerika yang lebih baik dan pendanaan federal. Hal ini menuju fase keenam dari legislasi pendidikan federal, khususnya National Defense Education Act (NDEA) tahun 1958. Aksi ini menyatakan pentingnya pendidikan untuk ketahanan nasional, dan pendanaan yang meningkatkan keamanan negara.dan mengembangkan sumber mental serta keahlian teknik bagi kaum muda. Aksi yang besar ini mendorong peningkatan pelatihan dalam ilmu pengetahuan, matematika, bahasa asing dan pelajaran penting lainnya. Bantuan Federal Terkini Untuk Pendidikan Tahun 1980an membawa suatu konservatisme baru pada level federal dan pengeluaran federal untuk pendidikan turun pada awal tahun yang disebabkan oleh inflasi Pada pertengahan dekade pengeluaran federal naik lagi, walalupun persentase kontribusi yang diberikan federal menunjukan nilai yang lebih kecil dari total keuangan sekolah. Selama tahun 1980an metode pendanaan sekolah juga dirubah. Categorical grants (dana untuk kelompok dan tujuan khusus) diberikan kepada block grants (dana untuk tujuan umum tanpa kategori yang ditentukan). Categorical grants merupakan bentuk yang penting dari peran serta federal dalam pendidikan selama tahun 1970an, tetapi federal Consolidation Education and Improvment Act (ECIA) pada tahun 1981 mengganti Categorical grants dengan block grants. Perubahan ini merupakan bagian dari federalisme baru, pergeseran tanggungjawab untuk banyak program sosial dan pendidikan federal dari pemerintah nasional ke pemerintah negara bagian. Keuntungan dari pendekatan block grants dalam program pendidikan adalah berkurangnya paperwork yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan (grant) atau dengan kata lain, prosedur dan administrasinya lebih sederhana. Selain itu block grants juga meningkatkan peran administrator lokal dalam menentukan bagaimana penggunaan dari sumber ini. Pada sistem yang lama terjadi kompetisi dalam mendapatka grant dari federal, dan beberapa tidak memiliki skill yang cukup dalam prosesnya, dengan sistem yang baru dapat mengurangi kompetisi diantara distrik. Kritik yang dinyatakan adalah negara bagian telah gagal untuk mejalankan beberapa program yang telah dibiayai oleh federal. Banyak negara bagian memilih untuk mendistribusikan dana ke sekolah lokal per anak daripada berdasarkan kebutuhan yang diperlukan. Berdasarkan hal ini maka perhatian lebih ditujukan pada jenis kontribusi block grants pada sekolah lokal dan cara pendistribusian dan dari negara bagian ke level sekolah lokal. Saat ini, sekolah di perkotaan menggunakan uang bantuan ini untuk program membaca dan bahasa, sedangkan sekolah di pedesaan cenderung menggunakan uang untuk buku-buku dan material seperti komputer. KECENDERUNGAN KEUANGAN SEKOLAH Kecenderungan terbaru mempengaruhi keuangan sekolah, persamaan kesempatan sekolah bukan lagi satu-satunya pusat perhatian. Semboyan saat ini adalah educational excellence, efficiency, performance, accountibility and productivity. Para pendidik diminta untuk menunjukan hubungan antara peningkatan pengeluaran dengan pencapaian siswa. Perlawanan Pembayar Pajak Dimulai pada akhir 1970an, suatu pemberontakan pajak terjadi, pergerakan ini menyebabkan perbaikan keuangan sekolah. Pergerakan Akuntanbilitas Walaupun pengertian dari akuntabilitas beragam, pada umumnya istilah ini mengacu pada bentuk bahwa guru, administrator, anggota badan sekolah dan bahkan siswa harus bertanggungjawab terhadap hasil dari usaha mereka. Para guru harus memenuhi beberap standar kompetensi dan sekolah harus memikirkan metode yang berhubungan dengan pengeluaran outcome. Pergerakan akuntabilitas terjadi karena beberap faktor. Tahun-tahun terakhir, banyak orang tua yang menyadari bahwa sekolah diperlukan untuk sukses. Karena biaya pendidikan telah naik, orangtua menuntut untuk mengetahui apa saja yang mereka bayar. Wajib pajak pada umumnya berharap tanggungjawab pendidik terhadap outcome dari pengajaran dan konsekuen terhadap setiap program sekolah. Seringkali, fokus utama adalah guru. Trend pengujian guru dan prospektif guru merupakan bagian dari pergerakan. Semua orang setuju bahwa setiap orang, dalam bidang pendidikan maupun bidang lainnya, harus akuntable dalam pekerjaannya. Ketakutan para pendidik adalah sedarhana bahwa nantinya kosep akuntabilitas menempatkan tanggungjawab hanya pada guru dan tidak mempedulikan peranan orangtua, komunitas tempat tinggal, anggota badan sekolah, wajib pajak dan para siswa itu sendiri. Kredit Pajak Biaya Kuliah Pertumbuhan kredit pajak biaya sekolah telah menjadi suatu barometer mengenai ketidakpuasan terhadap sekolah umum. Kredit pajak biaya sekolah menijinkan orang tua untuk menuntut pengurangan pajak sebagai bagian dari biaya sekolah yang mereka bayar untuk mengirim anak mereka ke sekolah swasta. Debat mengenai kredit pajak biaya kuliah untuk siswa nonpublik telah menjadi bahan pembicaraan dan emosional. Pihak opponent berpendapat bahwa kredit tersebut akan menyebabkan dukungan unkonstitusional terhadap sekolah, membantu kaum kaya, merusak sistem sekolah publik dengan mendukung dan mendorong perpindahan siswa ke sekolah non-publik, dll. Sedangkan piha pendukung kredit pajak biaya kuliah berpendapat bahwa kredit ini tidak unkonstitusional dan tidak akan mengurangi penghasilan federal. Mereka juga berpendapat kredit pajak ini akan menyediakan kesempatan yang luas bagi siswa untuk menghadiri sekolah di luar kota. Kredit ini juga mungkin akan mengurangi isolasi rasial dan sosial-ekonomi. Voucher Pendidikan dan Pilihan Sekolah Penggunaan voucher pendidikan adalah kecenderungan lainnya yang berhubungan dengan perbaikan keuangan sekolah. Dibawah sistem voucher, orang tua dari anak usia sekolah diberikan voucher atau bantuan terhadap biaya sekolah anak mereka. Seperti halnya, kredit pajak biaya pendidikan, voucher mewakili kurangnya kepercayaan publik kepada sekolah umum dan menstimulasi kontroversi yang mirip. Organisasi pendidikan seperti NEA dan AFT memandang bahwa baik voucher maupun kredit pajak akan meningkatkan pemisahan atau pembagian publik berdasarkan garis sosial-ekonomi dan mengurangi dukungan keuangan bagi sekolah umum. Penghematan Anggaran Belanja Sekolah Karena persaingan tuntutan untuk akntabilitas uang publik dan menurunnya kemampuan orang tua , maka dilakukan penghematan biaya pendidikan. Prinsip penghematan yaitu memperkecil berbagai hal, dapat kita lakukan dalam penghematan di sekolah publik. Melalui upaya : 1. Ukuran kelas Walaupun banyak komentar yang mengatakan bahwa ukuran kelas (jumlah siswa) yang baik adalah kelas kecil, tetapi dengan alasan ekonomi, kita dapat terapkan kelas dengan ukuran rata-rata. Karena berdasarkan penelitian dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas besar dan kelas kecil, kecuali dalam metoda pengajarannya. 2. Moderinisasi bangunan tua Daripada membangun sekolah baru, lebih baik jika melakukan perawatan dan modernisasi terhadap bangunan tua. 3. Sekolah yang lebih kecil Sekolah yang besar, dengan kafetaria yang luas, auditorium, gymnasium akan menghabiskan banyak untuk listrik, ansuransi dan perawatan. 4. Pemberhentian sementara guru Bagi sekolah yang mengalami penurunan pendaftaran siswa, maka pemberhentian sementara guru dapat dilakukan. 5. Pengurangan tenaga administratif Pengurangan tenaga administratif karena alasan budget, akan lebih baik dari pada pengurangan tenaga pengajar. Karena ditemukan data bahwa 5% sekolah distrik dapat beroprasi dengan perbandingan tenaga administratif/siswa = 1 : 1.000 6. Mengurangi biaya energi Permasalahan Infrastruktur dan Lingkungan Sekolah Infrastruktur atau fasilitas dasar fisik sekolah di Amerika rusak lebih cepat daripada perbaikannya. Sekolah-sekolah di kota memiliki permasalahan infrastruktur yang paling besar karena mereka yang tertua dan faktor industri. Lingkungan yang berbahaya di lingkungan sekolah adalah permasalah yang penting. Sebagai contoh, Enviromental Protection Agency (EPA) telah meminta pemerintah dan pemilik properti komersial, termasuk sekolah distrik, untuk membersihkan gedung dari asbestos yang terdapat di dinding dan lantai; dan gas radon, gas ini dapat menyebabkan kanker paru-paru, biasanya dari batu-batu dan kayu pembuatan gedung. Selain itu kualitas udara lingkungan juga harus diperhatikan dan bidang elekromagnetik. Budget sekolah harus disisihkan pada permasalahan lingkungan dan infrastruktur seperti diatas.




Artikel Kedua
Judul : Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional. Nilai
Balik PendidikanKedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya. Fungsi
Non EkonomiKetiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
KesimpulanJelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.




Artikel Ketiga
Judul :RUU-BHP BELUM SAH

Biaya pendidikan makin mahal, Rancangan Undang-Undang badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) belum disahkan akan tetapi pungutan dan biaya dibebankan kepada masyarakat (calon mahasiswa baru) sudah di terapkan di Universitas Tadulako sejak 2003 dan kemungkinan akan berlanjut sampai batas waktu yang tidak ditentukan, dengan alasan Sumbangan dana persiapan otonomi kampus (SDOPT). Bukankah ini membebani masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang layak?. Mungkin, belum ada survei atau penelitian berapa banyak calon mahasiswa yang tidak mampu untuk membayar biaya yang dikenakan kepadanya dalam menikmati universitas terbesar di Sulteng? Ataukah memang pendidikan sengaja diperuntukkan kepada orang-orang yang mampu? Kalau penulis mencermati rencana mem-BHP-kan lembaga pendidikan adalah upaya komersialisasi dan tak lebih dari representasi neoliberalisme. Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) dituding berada di balik rencana ini. Ini jelas agenda neoliberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan. Seharusnya pemerintah tidak boleh lepas tangan sama sekali. Pada akhirnya memberi batas alokasi minimal pada pembiayaan pendidikan sebesar 20%, dalam RUU BHP tidak terdapat kewajiban pemerintah untuk memberi dana rutin. Ujung-ujngnya nanti hanya orang kaya yang bisa masuk. Lama-lama tidak akan terjangkau oleh orang yang tidak mampu. Pada hakekatnya masyarakat mengetahui bahwa mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan itu tidak murah. Butuh biaya. Akan tetapi tidak harus mahal dan membebani kepada masyarakat. Penulis mempertanyakan bagaimana kondisi sosial masyarakat kita saat ini?. Apa sudah mampu untuk menanganinya dengan biaya yang cukup mahal?. Disisi lain harus memenuhi kebutuhan kesehariannya?. Pada hakekatnya Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT), tidak harus membebani klien-nya (mahasiswa) akan tetapi bagaimana kreatifitas pada pucuk pimpinan untuk menghidupi institusinya dan mendapatkan dana sebesar-besarnya, inilah yang terkadang memberi interpretasi yang salah, utamanya kepada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari bisnis Perguruan Tinggi. Sehingga masyarakatlah yang dijadikan korban dalam mendapatkan keuangan demi menghidupi perguruan tinggi. Mulailah dibebani dengan alasan pembayaran- pembayaran yang dapat meloloskan anaknya untuk masuk ke Universitas. Mengikut pembayaran Biaya operasional pendidikan (BOP) serta SPP yang mahal. Pada tahun 2010 pemerintah mencanangkan otonomi pada semua perguruan tinggi negeri. Ini akan memberi dampak negatif kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Transisi inilah nantinya akan membenani biaya kepada masyarakat, karena selama ini perguruan tinggi negeri tergantung kepada pemerintah. Dengan menguras kantong masyarakat untuk menjadikan BHPT di Untad pada tahun 2010 bukanlah solusi yang tepat, karena kondisi masyarakat saat ini belum mampu untuk memberi biaya sepenuhnya kepada universitas. SDOPT yang berasal dari masyarakat bukanlah solusi tepat dalam menjalakan otonomi kampus pada tahun 2010. Kesiapan kampus dalam memberi pelayanan dan fasilitas lengkap serta out-putnya juga harus dipertanyakan dan menjadi hal yang utama. Jangan sampai kampus untad hanya menjadi tempat komersialisasi dan tidak merakyat. Kemampuan analisis masa depan sekaligus manajemen perubahan yang handal mutlak diperlukan pada pimpinan di Untad utamanya senat selaku lembaga pengontrol kebijakan pimpinan. Selain itu, kemampuan sosial pun wajib dimiliki demi membangun komunikasi yang cerdas, elegan, dan egaliter dengan semua pihak yang terkait dengan universitas seperti dosen, karyawan, dan mahasiswa yang berjumlah lebih dari 15.000 orang. Penulis menilai Kebijakan mengenai pungutan SDOPT di Untad adalah hal yang sangat memberi beban kepada masyarakat dengan tidak melihat kondisi dan keberadaan masyarakat. Kebijakan ini juga belum ada evaluasi bagaimana perkembangannya apakah telah memenuhi standarisasi terhadap pelayanan di perguruan tinggi dan kondisi ekonomi calon mahasiswa? Begitupula dengan pembuatan kebijakan yang telah diterapkan selama empat tahun terakhir damana kebijakan ini tidak ada legitimasi atas anggota senat. Seharusnya senat dan pimpinan di Untad meninjau kembali keputusan ini sebelum di berlakukan kepada calon mahasiswa mahasiswa tahun 2007. Pada intinya, bentuk apa pun suatu perguruan tinggi, selama dimaksudkan untuk memperluas akses masyarakat mendapatkan pendidikan, semakin bagus dan Saat Sekarang kita tinggal menunggu suara senat selaku lembaga yang representatif perwakilan civitas akademika untuk memperjuangkan masyarakat kecil untuk tetap mendaptakan kursi di UNTAD? Serta kebijakan pimpinan UNTAD untuk meninjau kembali keputusan tentang SDOPT dan jangan sampai mengundang protes masyarakat dengan berteriak, "Orang miskin dilarang kuliah."




Artikel Keempat
Judul :"Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal"

Belum lama energi bangsa ini terkuras oleh persoalan pro-kontra RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, kembali dunia pendidikan menarik perhatian kita. Pro dan kontra kembali terjadi, meskipun persoalan Aceh, "Sukhoigate", dan isu sebagian anggota MPR berfoya-foya di luar negeri juga turut mengemuka. Persoalan pendidikan kali ini mengenai mahalnya biaya pendaftaran masuk sekolah dan Perguruan Tinggi. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun saat tahun baru ajaran akan dimulai. Tapi persoalan besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa dianggap persoalan yang remeh, karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia. PTN yang mendapat status BHMN yang dimaksud adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa di antara PT yang ada di Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian keempat PTN ini selalu menjadi incaran bagi calon mahasiswa baru. Dan, menjadi PT yang bestatus BHMN nampaknya kini menjadi suatu hal yang bergengsi dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi kita. Sejak berstatus BHMN keempat PTN ini makin mandiri saja mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Dari sinilah pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat. Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal. Dengan demikian, tentu saja tunjangan isensif para dosen dan karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalan mutu pendidikan sebenarnya dapat terbaca. Bukan terletak pada biaya pendidikan harus mahal, tapi gaji guru dan dosen harus tinggi. Dan saya kira, ini tugasnya pemerintah dan berkaitan erat dengan kebijakan yang dibuat dalam memajukan dunia pendidikan ke depan. Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Karena di Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, menurut para ahli pendidikan, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini. Setuju atau tidak istilah itu timbul, namun kenyataannya tidak jauh berbeda dengan makna istilah yang dimaksud. Lihat saja giatnya keempat PTN yang berstatus BHMN itu dalam mencari dana. Masing-masing mereka berkompetisi dalam penerimaan calon mahasiswa baru dengan cara membuka "jalur khusus" dengan tarif Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (gila!). Di samping itu, IPB mencari dana operasional pendidikannya ke depan dengan cara membangun mal. ITB dengan cara menjaring calon mahasiswa baru melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi (PMBP) dengan berkewajiban membayar uang masuk atau pendaftaran sebanyak Rp. 45 Juta. UGM mencari dana dengan cara menerima pendaftaran dan mengadakan tes mahasiswa baru lebih awal dari PT lainnya, dan sebagainya. Sofian Efendi (rektor UGM), menulis di Kompas (24/6/2003), bahwa ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi oleh PT di Indonesia. Pertama, krisis mutu. Kedua, krisis pembiayaan. Untuk menghadapi globalisasi pendidikan yang sudah mulai merambah ke Indonesia, dunia PT harus melakukan tugas pokok. Pertama, meningkatkan kualitas. Kedua, menjaga pemerataan akses tetap terjaga. Untuk mencapai kedua tujuan ini menurut Sofian diperlukan biaya besar. Inilah mungkin penyebab universitas yang dipimpinnya menerapkan kebijakan yang kontroversial itu. Namun pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa harus mengorbankan keadilan untuk mendapat pendidikan bermutu bagi masyarakat? Kalaulah harus demikian, apa bedanya PT negeri dengan PT swasta? Kalaulah kebijakannya seperti yang berlaku saat ini, maka dunia pendidikan kita telah menjalankan program "Yang kaya sekolah dan kuliah, Yang miskin dan ekonominya rendah, pengangguran saja". Bukankah ini suatu kejahatan? Terakhir, di mana tanggung jawab pemerintah? Sungguh ironis memang, para akademisi yang disebut-sebut sebagai ilmuwan, intelektual, yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan, ternyata berhadapan dengan uang sikap kritis hilang. Betapa tidak, karena rata-rata pihak PTN yang berstatus BHMN itu memperjuangkan cara mereka dalam menggulirkan roda pendidikan mahal itu. Masyarakat telah dibelenggu dengan pendidikan yang berbiaya tinggi. Padahal sikap yang diharapkan timbul dari kalangan ilmuwan kampus (baca: dosen) dalam menyikapi persoalan ini sebaliknya. Yaitu, mereka seharusnya mampu mengontrol dan menjadi representatif dalam pencegahan terjadinya "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan". Mengapa? Karena salah satu isi tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian pada masyarakat. Berangkat dari persoalan ini semua, maka pemerintah juga yang akan disalahkan. Kesalahan pemerintah itu, menurut Ali Khomsan (dosen IPB) dalam tulisannya "Brain Drain" Dosen PTN yang dimuat di salah satu koran nasional terbitan Jakarta, terletak pada sedikitnya pemberian isensif bagi guru dan dosen. Untuk mengantisipasi itu, dan mengantisipasi terjadinya brain drain dalam pendidikan, maka pemerintah harus meningkatkan penghargaan atas jerih payah dosen dengan cara memberikan gaji yang memadai. Bukankah sangat disayangkan, kata Ali, setelah dosen dikuliahkan lebih tinggi di luar negeri, namun negara lain yang memperolah manfaat ilmunya. Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya. Negara Jerman, Perancis, dan Belanda adalah negara berkembang yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi liberalisasi dalam sektor-sektor publik. Namun, di bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai. Malaysia misalnya contoh terdekat. Dahulu negara jiran ini yang belajar tentang pendidikan kepada Indonesia, dan para tenaga pendidik kita selalu diminta untuk mengajar di sana. Tapi kini realitasnya sungguh terbalik, saat ini kitalah yang menjadikan Malaysia sebagai referensi kemajuan dalam hal pendidikan. Ini disebabkan karena pihak pemerintahan Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik bagi kemajuan pendidikannya. Dengan memberikan hak otonomi dan status BHMN kepada beberapa PTN, menurut pandangan saya, secara tidak langsung pemerintah Indonesia ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Akibatnya, timbullah pendidikan mahal dan komersialisasi pendidikan di negara ini. Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan mahal, maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu, untuk membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan mahal saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah!. Dalam konteks ini, masyarakat kota Batam patut berbangga. Karena pemerintah daerah (Pemda)-nya akan menggratiskan uang pendaftaran masuk ke sekolah negeri, sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) kota Batam, H. Moaz Ismail, SIP (Riau Mandiri, 24/6/2003). "Tindakan tegas akan diambil kepada pihak sekolah yang meminta uang pendaftaran kepada calon siswa" ucap Ismail. Lalu, bagaimana dengan daerah lain dan tindakan pemerintah Indonesia? Allahua'lam.




Artikel Kelima
Judul : Sistem Keuangan Indonesia: Berbasis Pasar atau Bank?

Abstrak Kinerja ekonomi dapat meningkat apabila tingkat tabungan nasional meningkat disertai dengan sistem keuangan yang mampu memobilisasi tabungan masyarakat, serta mengalokasikannya ke investasi produktif secara optimal. Untuk itu diperlukan arsitektur sistem keuangan yang sesuai (berbasis pasar atau berbasis bank) dengan kondisi lokal yang dapat mengalokasikan sumber daya modal secara efisien guna menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka panjang. Penulis berpendapat sistem keuangan Indonesia masih harus ditumpu oleh sistem keuangan yang berbasis bank sampai dengan benar-benar tercapai tingkatan sistem keuangan yang maju. Kata kunci: sistem keuangan, struktur keuangan, pertumbuhan ekonomi 1. Pendahuluan Menurut teori ekonomi Neo-Klasik, yang bersandarkan kepada bekerjanya pasar sempurna, besarnya tingkat suku bunga menentukan investasi yang layak dilaksanakan dan semua kesempatan investasi yang layak akan dieksploitasi. Kenyataannya, dunia yang kita tinggali ini tidak selamanya mengikuti kaidah tersebut. Walaupun tingkat tabungan nasional suatu negara relatif tinggi, pertumbuhan ekonomi dapat terhalang oleh sistem keuangan yang tidak mampu mengumpulkan tabungan secara optimal serta tidak mampu mengalokasikan dana tersebut kepada sektor-sektor produktif secara maksimal. Lebih dari 100 tahun, perdebatan kontroversial menyangkut sistem keuangan, antara yang berbasis bank dan yang berbasis pasar telah berlangsung. Perdebatan terutama terfokus pada membandingkan struktur sistem keuangan di Amerika Serikat dan Inggris yang mewakili kutub struktur sistem keuangan berbasis pasar dengan Jerman, Perancis serta Jepang di kutub lain yang menerapkan struktur sistem keuangan berbasis bank. Ketika kinerja ekonomi Amerika Serikat lebih buruk dibandingkan dengan kinerja ekonomi Jepang pada tahun 1980-an, ada pendapat perbedaan struktur sistem keuangan kedua negaralah yang mengakibatkan perbedaan kinerja ekonomi Amerika Serikat dan Jepang (Porter, 1992 ). Pada penutupan abad ke-19, ekonom Jerman berkeyakinan bahwa model sistem keuangan berbasis bank yang membuat Jerman meninggalkan Inggris dengan model sistem keuangan berbasis pasar (Goldsmith, 1969). Tetapi ketika kinerja ekonomi Jepang sangat menurun pada periode 1990-an, muncul keraguan akan keunggulan struktur sistem keuangan yang berbasis bank. Mana yang lebih unggul, sistem keuangan yang berbasis bank ataukah sistem keuangan yang berbasis pasar, guna mencapai pertumbuhan ekonomi jangka panjang? Berbagai penelitian ternyata memperlihatkan bahwa struktur sistem keuangan adalah tidak relevan (Ndikumana, 2001) dalam menyebabkan baik-buruknya kinerjan ekonomi. Tidak terbukti bahwa suatu struktur sistem keuangan selalu mengungguli sistem yang lain. Yang relevan adalah kemajuan secara keseluruhan dari sistem keuangan (developed financial systems) ( Rajan dan Zingales, 1998; LaPorta et al, 2000; Beck et al, 2000; Levine et al, 2000; Beck et al, 2001). Stulz (2000) berkeyakinan bahwa dengan berkembangnya sistem keuangan berbasis pasar akan memungkinkan bank sebagai investor melakukan pengelolaan risiko dengan lebih baik sehingga dapat mengurangi tingkat risiko operasionalnya. Di sini terlihat pengembangan sistem keuangan berbasis pasar akan mengakibatkan pengembangan sistem keuangan berbasis bank. Theil (2001) menekankan pentingnya proses adaptasi dan evolusi sistem keuangan untuk memenuhi tuntutan perkembangan ekonomi. Tulisan ini melakukan penelaahan terhadap penelitian-penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya faktor-faktor serta kondisi yang ada di Indonesia dipetakan terhadap hasil penelitian terdahulu untuk mendapatkan arsitektur sistem keuangan yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia. 2. Sistem Keuangan Sistem keuangan yang efisien adalah sistem yang mampu menyalurkan sumber dana kepada unit usaha yang paling produktif. Untuk tujuan tersebut sistem keuangan harus mampu berfungsi sebagai: (1) sistem pembayaran; (2) mekanisme yang mampu mengumpulkan sumber dana terutama dari rumah tangga; (3) mengelola ketidak pastian dan melakukan kontrol terhadap risiko; (4) mekanisme yang menyediakan informasi untuk keputusan alokasi sumber daya; (5) mekanisme untuk mengatasi akibat informasi yang tidak berimbang (asymmetric information) yang muncul pada transaksi keuangan di mana satu pihak mempunyai informasi sedangkan pihak lain tidak.Fungsi di atas dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk ekonomi yang berbeda, di mana fungsi sistem keuangan dapat dilakukan oleh institusi yang berbeda dengan efisiensi yang berbeda pula. Sebuah sistem dikatakan lebih baik diukur dari kemampuannya menjalankan kelima fungsi di atas. 2.1 Lembaga Keuangan Perantara (Bank) Lembaga keuangan perantara dapat diibaratkan sebagai fund manager atau financial advisor dari sekumpulan investor. Tanpa fund manager, investor yang bermaksud mengoptimalkan tabungannya harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan informasi dari perusahaan yang hendak meminjam serta melakukan pengawasan terhadap pinjaman yang diberikan. Dengan adanya lembaga perantara keuangan, duplikasi yang harus dilakukan setiap investor dapat dihindari. Biaya untuk mendapatkan dan memproses informasi dari perusahaan/pengelola yang bermaksud memanfaatkan dana yang terkumpul dari investor/penabung dapat dikurangi, sehingga kemampuan alokasi dan kontrol terhadap perusahaan meningkat (Boyd and Prescott, 1986). Perbankan dapat melakukan mobilisasi tabungan dengan cara ekonomisasi biaya transaksi dan dapat mengatasi asimetri informasi yang menyebabkan investor atau penabung merasa aman untuk melepaskan kontrol terhadap tabungannya (Sirri and Tufano, 1995). Dengan efektivitas melakukan mobilisasi tabungan yang memudahkan akumulasi dana, lembaga keuangan perantara mampu meningkatkan alokasi sumber daya dengan menerapkan prinsip skala ekonomi. Melalui lembaga keuangan perantara, pengumpulan serta pembagian risiko dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Awalnya, teori keuangan berkiblat kepada pembagian risiko secara cross-sectional (satu perode waktu tertentu) di mana umumnya individu memiliki asset yang beragam dengan jumlah masing-masing relatif kecil. Apabila untuk setiap pembelian terdapat biaya tetap, lembaga keuangan perantara seharusnya dapat memperkecil biaya penyimpanan dari portofolio asset yang standar. Lebih jauh, lembaga keuangan perantara mampu memfasilitasi pembagian risiko dengan mengeliminasi faktor waktu (intertemporal smoothing of risk) (Allen & Gale, 1999). Lembaga keuangan perantara juga mempunyai kemampuan mengurangi risiko likuiditas (Diamond & Dybvig, 1983). Kemampuan ini menjembatani kebutuhan pengusaha mendapatkan dana yang bersifat jangka panjang dan kecenderungan investor (penyimpan) melakukan investasi jangka pendek. Karena waktu dan kuantitas penyimpanan bersifat random, bank mempunyai kemampuan melakukan transformasi tabungan ke asset yang bersifat jangka panjang sedangkan kebutuhan likuiditas penyimpan tetap terjamin. Dengan kemampuan menyediakan dana untuk jangka panjang, maka investasi yang lebih menguntungkan (pada dasarnya investasi jangka panjang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dari investasi jangka pendek) lebih dimungkinkan terjadi. Lembaga keuangan perantara yang melakukan fungsinya dengan baik akan meningkatkan alokasi sumber daya yang mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Di samping fungsi lembaga bank seperti yang dipaparkan di atas, Levine (2000) memperlihatkan kelemahan lembaga keuangan perantara. Pertama, karena penguasaannya atas informasi, terbuka kemungkinan bank menimpakan rente yang tinggi terhadap informasi daripada investasi yang mempunyai peluang baik. Akibatnya, imbal hasil yang diperoleh prusahaan peminjam menurun, sehingga berpotensi menurunkan usaha perusahaan mencari kegiatan inovatif. Kedua, bank cenderung bias dan berlebihan terhadap pengertian keberhati-hatian (prudence). Selanjutnya hubungan yang terlalu erat antara bank dan perusahaan mengurangi iklim persaingan alokasi sumber daya sehingga menurunkan kemampuan bank dalam peningkatan efisiensi dari tata kelola perusahaan ( Mork & Nakamura, 1999). 2.2 Pasar Modal Pada umumnya pasar modal menghasilkan kegiatan berupa penyediaan informasi di pasar. Pasar modal yang telah berkembang dan fungsi pengambilalihannya telah berjalan, memungkinkan pihak luar melakukan ambil alih dengan membeli saham (pada saat harganya turun karena kinerja perusahaan buruk) atau dengan mengganti manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Pasar modal yang telah berfungsi dengan baik memberikan kemudahan dalam melakukan diversifikasi risiko dan mempunyai kemampuan mengeliminasi risiko likuiditas. Pasar modal memungkinkan pembagian risiko secara cross-sectional di mana setiap investor dapat membentuk portofolio asset sesuai dengan kemampuannya menanggung risiko. Pada dasarnya investasi yang berjangka panjang akan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi jangka pendek. Dalam pasar yang likuid investor dapat membentuk portofolio asset yang sifatnya jangka panjang tanpa ada kekhawatiran menyangkut likuiditas, sehingga masalah kemungkinan harus menghadapi kesulitan likuiditas dalam jangka pendek dapat diatasi. Karakteristik tersebut memperlihatkan pasar modal yang likuid mampu meningkatkan alokasi modal sehingga memungkinkan peningkatan produktivitas. Pasar modal yang telah berkembang juga mempunyai kemampuan melakukan mobilisasi dana. Mobilisasi tabungan dari penabung yang jumlahnya banyak dan tersebar akan mengakibatkan biaya yang relatif tinggi, karena (1) harus mengatasi biaya transaksi sehubungan dengan pengumpulan tabungan dari individu yang berbeda, dan (2) harus dapat mengatasi asimetri informasi yang membuat investor bersedia melepaskan tabungannya untuk investasi. Hasil penelitian-penelitian terdahulu (Levine & Zervos, 1998; Demirguc-Kunt & Maksimovic, 1999) menyimpulkan bahwa pasar modal yang telah berkembang akan mengakibatkan peningkatan kinerja ekonomi. Jadi, teori yang berkait dengan karakteristik perbankan dan lembaga keuangan pasar modal serta kenyataan di lapangan yang ditemui menunjukkan bahwa kedua lembaga keuangan (baik bank maupun pasar modal) tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Informasi yang diperoleh dari pasar modal menyangkut peluang investasi dapat dinikmati oleh semua pelaku pasar, yang menimbulkan masalah free-rider, mengakibatkan investor cenderung mengurangi usaha mengumpulkan informasi (Stiglitz, 1985). Di pasar modal, kontrol setelah melakukan pembiayaan (ex-post) dilakukan oleh pasar melalui pengambilalihan (take over), yang dalam kenyataannya tidak selalu memberikan peningkatan efisiensi. Pasar modal ternyata tidak sepenuhnya dapat mengeliminasi ketidakseimbangan informasi. Umumnya pihak yang berada di dalam perusahaan memiliki informasi yang lebih lengkap dibandingkan dengan pihak luar. Karenanya, take over merupakan mekanisme yang tidak sempurna di dalam seleksi ekonomi alamiah (Singh, 1971). Berdasarkan kenyataan yang ditemukan di Inggris, Singh menyimpulkan bahwa kemampuan perusahaan besar untuk bertahan bukanlah karena peningkatan keuntungan, akan tetapi karena peningkatan relatif size perusahaan di antaranya melalui take over. Lebih jauh, take over tidak selalu mengakibatkan peningkatan nilai investasi, tetapi hanya merupakan transfer kemakmuran dari pemilik lama yang masih memiliki hak sisa kepada pemilik baru. Kenyataan di Amerika Serikat pada tahun 1980, di mana take over terjadi secara masif, hal itu tidak meningkatkan nilai investasi dan manfaat efisiensi ( Crotty & Goldstein, 1993). 2.3 Faktor luar yang berpengaruh Faktor luar yang berpengaruh terhadap efisiensi sistem keuangan adalah tradisi dan lingkungan penerapan hukum dan konsentrasi kepemilikan saham (Carlin & Mayer 1999 dan 2000, Levine et al, 2000 dan Franks & Mayer, 1962). La Porta et al (1997) berpendapat, kehidupan serta penerapan sistem hukum mempunyai kaitan dengan tingkat perlindungan terhadap investor kecil. Tradisi lingkungan hukum dan struktur ekonomi, secara bersama menentukan apakah sistem keuangan yang berjalan cenderung didominasi oleh lembaga keuangan perantara atau pasar modal. Tradisi lingkungan hukum dicerminkan dengan bagaimana hukum terbentuk serta diterapkan, bukan terfokus pada hukum menyangkut perlindungan terhadap investor. Tradisi lingkungan hukum yang berhubungan dengan sistem keuangan dalam penerapannya hanya dibagi atas tradisi hukum yang bersumber pada civil law (Eropa daratan) dan common law (Anglo-Saxon). Tradisi hukum yang bersumber dari civil law relatif cenderung menghindari untuk melakukan interpretasi dan melahirkan hukum baru dibandingkan dengan tradisi hukum common law. Tradisi hukum civil law dianggap kurang mampu memberikan keputusan yang adil karena pelanggaran hukum yang terjadi tidak diatur dalam hukum di negara tersebut. Dalam lingkungan seperti ini investor individu cenderung tidak mau memberikan pinjaman kepada pihak lain, akan tetapi bank masih bersedia memberikan pinjaman karena mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku perusahaan melalui ketergantungan perusahaan tersebut terhadap bank dalam pelayanan lain seperti transfer, sistem pembayaran, dan lain-lain. Hal ini diperkirakan menjadi penyebab sistem keuangan lebih didominasi oleh lembaga keuangan perantara (bank) di negara dengan tradisi hukum civil law. Dalam lingkungan hukum yang bersumber pada tradisi hukum common law, sengketa hukum seperti yang disebutkan tadi relatif dapat diselesaikan dengan efektif, sehingga perusahaan cenderung mencari sumber dana dari pasar yang biayanya relatip lebih rendah dibandingkan dengan meminjam dari bank. Akibatnya di negara dengan tradisi hukum common law, sistem keuangannya pada umumnya didominasi oleh pasar modal. Franks & Mayer (1998) melaporkan perbedaan konsentrasi kepemilikan saham antara Amerika Serikat dan Inggris dengan Jerman dan Perancis. Franks & Mayer menemukan fenomena di Amerika Serikat dan Inggris sejumlah besar perusahaan yang kinerjannya selalu dievaluasi dengan fluktuasi harga sahamnya di pasar modal, konsentrasi kepemilikan sahamnya tersebar di sejumlah lembaga maupun investor individu. Sedangkan di Perancis dan Jerman, minat perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan luar yang bersumber pada pasar modal tidak besar. Kepemilikan saham perusahaan di Perancis dan Jerman umumnya sangat terkonsentrasi (dimiliki oleh lembaga investasi atau keluarga). Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya perbedaan konsentrasi kepemilikan atas perusahaan berkorelasi dengan sistem keuangan. Kepemilikan yang terkonsentrasi, seperti di Jerman dan Perancis, nampaknya lebih compatible dengan sistem keuangan yang bersifat hubungan jangka panjang. Pada sistem keuangan di mana pasar modal lebih berkembang, risiko tersebar lebih luas pada banyak investor. Tingkat imbal hasil yang lebih tinggi secara alamiah merangsang minat investor untuk bersedia menanggung rsiko lebih tinggi untuk investasi-investasi berteknologi relatif baru yang cenderung dihindari oleh bank. Investasi besar, baik dalam skala maupun teknologi, dengan risiko yang relatif tinggi tidak compatible dengan struktur yang kepemilikannya terkonsentrasi. Sistem keuangan yang didominasi pasar secara alamiah memerlukan kepemilikan yang tersebar sehingga risiko yang tinggi dapat disebarkan secara lebih luas. 3. Kajian Pustaka Goldsmith (1969) termasuk peneliti awal yang menerapkan pendekatan ekonometri untuk memperoleh gambaran hubungan sistem keuangan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan melakukan penelitian terhadap 35 negara (pada selang waktu antara 1860-1963) menarik kesimpulan bahwa pengembangan sistem keuangan ternyata memberikan percepatan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hanya saja penelitian yang dilakukan belum membedakan pengaruh perbedaan struktur sistem keuangan. Akhir-akhir ini, perkembangan penelitian secara empiris yang berhubungan dengan kausalitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi sangat meningkat. King dan Levine (1993) mengulangi usaha Goldsmith, melakukan pencarian hubungan sistem keuangan dengan pertumbuhan ekonomi secara lebih intensif. King dan Levine menemukan hubungan statistik yang kuat untuk 12 kombinasi dari 4 variabel keuangan dan 3 variabel pertumbuhan. Variabel keuangan tahun 1960 dikorelasikan dengan 3 variabel pertumbuhan selama periode 1960-1989, sehingga didapatkan hubungan kausal dari sistem keuangan dengan pertumbuhan ekonomi. Rousseau dan Wachtel (1998) melakukan pengujian hubungan kausal antara asset bank, simpanan di bank dan pertumbuhan riel ekonomi di 5 negara industri maju dengan periode pengamatan tahun 1870-1929. Rousseau dan Wachtel juga menemukan bahwa peningkatan sistem keuangan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi, dan perubahan variabel keuangan mengakibatkan perubahan variabel pertumbuhan tetapi tidak sebaliknya. Menentukan struktur sistem keuangan yang lebih efisen tidaklah cukup hanya dengan mengacu ke negara Amerika Serikat, Inggeris, Jerman, Perancis dan Jepang. Demirguc & Levine (1999) melakukan penelitian terhadap 150 negara untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap. Mereka menerapkan grafik sederhana, korelasi dan regresi untuk mendapatkan hubungan struktur sistem keuangan dengan perkembangan ekonomi. Hasil regresi memperlihatkan bahwa bank, lembaga keuangan perantara lain dan pasar modal semuanya menjadi lebih besar, aktif dan efisien jika negaranya semakin kaya. Ini berarti pengembangan sektor keuangan cenderung semakin besar pada tingkatan negara yang berpendapatan tinggi. Aktivitas dan efisiensi pasar meningkat relatif dibandingkan dengan bank dengan peningkatan pendapatan negara tersebut. Juga diamati bahwa negara dengan tradisi hukum Common law cenderung kepada sistem keuangan yang didominasi oleh pasar, sedangkan negara dengan tradisi hukum yang bersumber pada civil law cenderung pada sistem keuangan yang berbasis bank. Dengan memakai data dari Demirguc & Levine (1999), Levine (2000) menyimpulkan diperlukan sudut pandang lain yaitu sudut pandang yang melihat bahwa sistem keuangan adalah hubungan perjanjian dari beberapa pihak yang efektivitasnya dipengaruhi oleh lingkungan hukum yang ada. Menurut Levine, yang penting adalah menciptakan lingkungan hukum yang sesuai dengan karakteristik masing-masing struktur sistem keuangan sehingga sistem dapat berfungsi dengan efektif. 4. Sistem Keuangan Indonesia Berdasarkan data tahun 1990-1995 (Demirguc & Levine, 1999), sistem keuangan Indonesia masih dalam tingkatan yang belum maju. Perbandingan asset bank dan kapitalisasi pasar saham dengan GDP masing-masing adalah 49% dan 18% (berada di bawah rata rata dari 150 negara yang menjadi sampel). Untuk mendapatkan gambaran perbandingan dengan negara-negara lain, tingkat kemajuan sistem keuangan beberapa negara ditunjukkan dalam tabel 1. Kedua angka perbandingan (ratio) tadi memperlihatkan bahwa peranan bank lebih dominan daripada peran pasar saham, karakteristik sistem keuangan yang berbasis bank. Dengan kondisi tingkat kemajuan dari sistem keuangan saat ini, langkah awal yang harus ditempuh adalah mengembangkan sistem keuangan hingga mencapai tingkatan yang sudah maju. Pilihan sistem keuangan yang seharusnya dikembangkan oleh suatu negara berkaitan erat dengan strategi pengembangan industri negara tersebut. Perbedaan karakteristik industri menuntut perbedaan karakteristik sumber pembiayaan. Industri yang karakteristiknya kompetitif dengan jumlah produsen yang banyak, siklus produksinya relatif pendek dan perkembangan teknologinya lambat, mendekati tidak berubah, misalnya pertanian, industri tekstil dan pakaian jadi, dan industri otomotif tidak menghadapi kendala pada iklim sistem keuangan yang berbasis bank. Tetapi apabila karakteristiknya diametral berbeda dengan yang disebutkan di atas, di mana terdapat peningkatan hasil dalam skala tertentu (increasing return to scale) oleh sekelompok kecil industri, jangka waktu antara keputusan investasi dengan realisasi hasilnya cukup panjang, serta perubahan teknologi yang cepat sangat penting dan diperlukan, misalnya industri pesawat terbang, informatika dan bioteknologi, hanya mungkin dapat berkembang pada lingkungan sistem keuangan yang didominasi oleh pasar saham. Berdasarkan tingkat perkembangan industri Indonesia saat ini dan 10-20 tahun mendatang, belum memerlukan sistem keuangan berbasis pasar. Tradisi hukum yang berkembang di Indonesia yang berasal dari Eropa daratan (civil law) efektivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan tradisi hukum yang bersumber kepada common law, dalam hal menilai sengketa hubungan surat perjanjian (Ergungor, 2002; La Porta et. al, 1997; Levine, 1998). Keterbatasan kemampuan pengadilan dapat diatasi oleh lembaga bank, karena bank masih mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dari peminjam (karena ketergantungan terhadap bank untuk keperluan yang lain). Struktur kepemilikan modal dari perusahaan besar di Indonesia umumnya masih terkonsentrasi. Sedangkan struktur kewirausahaan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil masih sangat timpang. Keadaan perusahaan kecil dan menengah relatif masih tertinggal jauh dibandingkan perusahaan besar. Karena itu diperlukan upaya terencana untuk peningkatan kemampuan perusahaan kecil dan menengah sehingga tercapai struktur kewirausaahan yang berimbang. Salah satu upaya yang diperlukan adalah alokasi sumber daya modal yang terarah yang pelaksanaannya tidak mungkin diserahkan kepada pasar. Tabel 1. Perkembangan antara peranan bank dan pasar dari beberapa negara (1990 - 1995) GDP Asset Kapitalisasi Negara per kapita Bank / GDP pasar / GDP $ % % Amerika Serikat Australia Austria 19,413 14313 13177 64 77 126 80 71 12 Belanda Belgia 13,954 14481 112 118 69 36 Denmark 17,002 48 34 Indonesia Italia 610 11504 49 74 18 17 Inggeris 11,794 116 113 Jepang 15,705 131 79 Jerman 16,573 121 24 Malaysia 2,629 82 201 Muang Thai Meksiko 1,502 2951 82 24 57 32 Perancis 15,232 102 33 Pilipina 734 37 52 Singapur 11,152 95 137 Swedia 18,981 54 62 Swiss 19,529 177 98 Zimbabwe 803 21 23 Sumber : Demirguc - Kunt & Levine (1999) 5. Kesimpulan Sistem keuangan Indonesia saat ini masih pada tingkatan belum maju. Sebelum sampai pada pilihan struktur sistem keuangan yang diperkirakan lebih efisien untuk mendorong pertumbuhan, sebaiknya upaya dipusatkan untuk meningkatkan sistem keuangan sehingga mencapai tingkatan maju. Dengan struktur industri, lingkungan dan sumber aliran hukum, serta struktur kewirausahaan (pola konsentrasi kepemilikan dan posisi usaha kecil dan menengah), pengembangan sistem keuangan hingga mencapai tingkatan maju, sebaiknya dilakukan dengan memberikan kontribusi yang besar terhadap sektor perbankan dibandingkan pasar modal. Tingkat kemajuan dan kualitas lembaga keuangan bersama dengan lembaga hukum sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan. Dari waktu ke waktu tingkat kemajuan dari kedua lembaga tadi harus proporsional sehingga tercapai suatu struktur sistem keuangan yang efisien setiap periode waktu. Untuk itu diperlukan penelitian terhadap (proporsi) struktur sistem keuangan yang berbasis bank dan sistem keuangan yang berbasis pasar guna mendapatkan sistem keuangan yang secara maksimal mampu memobilisasi tabungan dan optimal dalam pengalokasiannya. REFERENSI Allen, Franklin & Gale, Douglas,2000," Comparing Financial System", The MIT Press, Cambridge : Massachusetts,pp.153-190 Beck, Thorsten, Demirguc-Kunt, A and Levine, R, " A New database on Financial Development and Structure," World Bank, Policy Research Working Paper 2146, 2000. Beck, T., Levine, R. and Loayza, N.," Finance and the Source of Growth," Journal of Financial Economics, 2000 # 58, pp. 261-300. Boyd, John H & Prescot, Edward C. " Financial Intermediary- Coalitions," Journal of Economics Theory, April 1986, 38(2), pp.211-232 Carlin, Wendy & Mayer, Colin, 1999, " How do financial system affect economic performance?" University College London & Said Business School, University of Oxford, Research paper Carlin, Wendy & Mayer, Colin, 2000, " Finance Investment and Growth" CEPR discussion paper no 2233. Crotty, J. R. & Goldstein, D.," Do US financial market allocate credit efficiently? The case of corporate restructuring in the 1980s" Transforming the US financial system.Equity and efficiency for 21st century.New York: M.E. Sharpe, 1993pp.253-286 Demirguc-Kunt, Asli & Maksimovic, Vojislav." Law, Finance, and Firm Growth," Journal of Finance, December 1998, 53(6), pp. 2107-2137. Demirguc-Kunt, Asli & Levine, Ross, 1999," Bank-Based and Market-Based Financial System: Cross -Country Comparisons, Working Paper Diamond, Douglas W & Dybvig, Philip H, " Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity," Journal of Political Economy, June 1983, 91(3), pp. 401-419 Ergungor, O. E." Market vs Bank- Based Financial System: Do Investor Rights Really Matter?" Fed. Reserve Bank of Cleveland Working Paper 01-01R, March, 2002 Frank, J. & Mayer, C.(1998), " Ownership and control in Europe," Palgrave Publishers Ltd Goldsmith, Raymond W." Financial Structure and Development" New Haven, CT; Yale University Press, 1969 King, R. G. & Levine, R: " Finance, Entrepreneurship, and Growth- Theory and Evidence", Kournal og Monetary Economics, Vol. 32, 1993, pp. 513-542 LaPorta, Rafael; Lopez-de-Silanes, Florencio; Shleifer, Andrei; and Vishny, Robert W, " Legal Determinants of External Finance," Journal of Finance, July 1997,52(3),pp.1131-1155. Levine, Ross, 2000," Bank-Based or Market Based Financial System: Which is Better?" Levine, Ross & Zevros, Sara. " Stock Markets, Banks, and Economic Growth," American Economic Review, June 1998, 88(3), pp.537-558. Morck, R & Nakamura, M.," Banks and Corporate Control in Japan," Journal of Finance 1999, 54, pp. 319-340 Ndikumana, Leonce ,'Financial Development, Financial Structure, and Domestic Investment: International Evidence," Working Paper Series # 16, Policy Economic Research Institute, University of Massachusetts, Amherst, 2001. Porter, M," Capital Choices: Changing the Way American Invest in Industry," Journal of Applied Corporate Finance, 5(2), Summer 1992 pp.4-16 Rajan, R & Zingales, L, " Financial Dependence and Growth", American Economic Review,1998. Rouesseu, P. L & Wachtel, P., Financial Intermediation and Economic Performance : historical evidence from five industrialized countries", Journal of Money, Credit and Banking, 1998, Vol. 30, pp. 657-678 Theil,Michael , " Finance and Economic Growth- A review of Theory and The Available Evidence," Economic Paper, July 2001. Sirri, E & Tufano, P," The Economics of Pooling," in Crane, D et al, (ed) The Global Financial System: A Functional Perspective, Harvard Business Scool Press: Cambridge Stiglitz, J ," Credit Markets and the Control of Capital," Journal of Money, Credit and Banking, 1985, 17(2), pp. 133-152. Stultz, R. M ," Does Financial Structure Matter for Economic Growth? A Corporate Finance Perspective", Ohio State University, January 2000.



artikel 6
judul :Unpad Wisuda 45 Doktor

BANDUNG, SELASA - Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung mewisuda 45 Doktor baru dari berbagai disiplin ilmu pada sidang terbuka Senat Universitas dipimpin Rektor Unpad Prof Dr Ir Ganjar Kurnia DEA di Aula Graha Sanusi Harjadinata kampus Dipati Ukur Bandung, Selasa.
Wisuda 45 Doktor baru merupakan rangkaian dari prosesi wisuda gelombang I tahun akademik 2008/2009 yang dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut hingga Kamis(27/11).
Jumlah seluruh lulusannya yang diwisuda sebanyak 2.420 orang, dari Program Doktor, Program Maguster, Program Spesialis I, Program Profesi, Program Sarjana, Program Diplomas III dan Program Diploma IV Kebidanan.
Para wisudawan terbaik untuk Program Doktor atas nama Ito Sumardi dari Ilmu Hukum dengan IPK 4,00, untuk Program Magister Ahmad Saifudin dari Ilmu Kedokteran Dasar dengan IPK 3,95, Program Spesialis I Rika Kartika dari Kebidanan dan Penyakit Kandungan IPK 3,64, Program Profesi Widia Hafsyah Sumarlina Ritonga dari Profesi Kedokteran Gigi dengan IPK 3,90.
Untuk Program Sarjana masing-masing Utami Dewi Harianingsih dari Ilmu Pemerintahan IPK 3,97 dan Yulia Susanti dari Ilmu Komunikasi IPK 3,97, Program Diploma III Dimitri Damayanti dari Manajemen Informatika IP 3,82, serta Program Diploma IV Kebidanan Melly Damayanti dari Kebidanan Pendidikan IPK 3,66.
Sedangkan lulusan program S1 tercepat Utami Dewi Harianingsih dari Program Studi Ilmu Peternakan dengan waktu tiga tahun satu bulan, dan Program Diploma III Iwan Ruswandi dari Program Studi Manajemen Agribisnis yang telah berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu dua tahun 10 bulan.
Wisudawan termuda Dewinta Maharani Putri Kuswhara dari Program Studi Manajemen yang lulus pada usia 20 tahun empat bulan, dan Tasya Safiranita dalam usia 20 tahun tiga bulan 26 hari.
Rektor Unpad Prof Dr Ir Ganjar Kurnia DEA menyatakan, prosesi wisuda merupakan tanda dari berakhirnya proses pembelajaran yang dijalani seorang mahasiswa selama pendidikannya.
Menurut Rektor, keberhasilan wisudawan bukan hanya bukti keberhasilan dirinya sendiri tapi ada investasi, bantuan, proses yang melibatkan keluarga, dosen, tenaga kependidikan, masyarakat, dan pemerintah.
Dikatakannya, selain dari biaya orang tua, selama pendidikannya seorang wisudawan telah menerima subidi yang sangat besar dari dana masyarakat melalui pemerintah. Menurut perhitungan Dikti pada tahun 2008 biaya untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, minimal sebesar Rp 30 juta/orang/tahun.
Ia mengatakan, walaupun dana pendidikan dari pemerintah akan sesuai dengan amanah UUD 1945 yaitu sebesar 20 persen dari total APBN mulai tahun 2009, namun tambahan tersebut belum dapat memenuhi standar biaya yang dikeluarkan oleh Dikti.

"Untuk itu kami masih mengharapkan bantuan dari orang tua, melalui SPP dan biaya pengembangan, karena secara keseluruhan biaya terkumpul baru mencapai 70 persen dari kebutuhan nasional," ucap Ganjar Kurnia.
EDJ



artikel 7
judul :Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia

JAKARTA, KAMIS - Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.
Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi.
ELN



artikel 8
judul :TMII Akan Buat Pendidikan Kebudayaan

JAKARTA, SABTU - Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akan membuat paket pendidikan kebudayaan untuk membantu menjembatani kesenjangan kebudayaan di Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Indonesia.
Demikian diungkapkan oleh Direktur Operasional TMII, Ade F Meyliala, ketika acara pemaparan visi dan rencana TMII ke depan di Museum Indonesia TMII, Jakarta, Jumat (24/10) sore kemarin.
"Paket pendidikan kebudayaan akan diselenggarakan setiap Senin hingga Jumat pada jam kerja. Kami akan memberikan buku panduan, audio video, dan contoh nyata yang ada di TMII kepada peserta. Bagi siswa yang telah mengikutinya akan mendapat sertifikat khusus kebudayaan dari TMII," ujar Ade.
Selain itu, kata Ade, paket pendidikan tersebut akan dilengkapi dengan laboratorium dan konservasi kebudayaan yang ada di TMII. "Karena laboratorium dan konservasi kebudayaan yang ada di TMII saat ini, bisa dikatakan terlengkap dan terbesar di dunia," bangga wanita paruh baya itu.
Namun Ade menjelaskan, sampai saat ini pihaknya masih belum menerima balasan dari Departemen Pendidikan Nasional, tentang kurikulum yang telah mereka ajukan. "Sampai saat ini kami masih menunggu jawaban dari Depdiknas, tentang kurikulum yang kami usulkan," terang Ade.
Selain pelajar SLTP dan SMU, Manajemen TMII akan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang peduli akan penelitian dan pengembangan kebudayaan di nusantara. "Itu adalah salah satu bentuk kepedulian kami terhadap budaya di Indonesia, bekerjasama dengan perguruan tinggi yang juga peduli akan kebudayaan di Indonesia. Beasiswa akan kami berikan sampai dengan S3, kalau diperlukan," beber wanita murah senyum ini. (C11-08)




artikel 9
judul :Pemerintah Bangun Sekolah untuk Anak TKI Di Malaysia

JAKARTA, RABU - Pemerintah segera mendirikan sekolah bagi anak Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Sekolah tersebut direncanakan menjadi induk bagi model pelayanan pendidikan nonformal yang akan diadakan pula di sana.

Hal tersebut terungkap dalam jumpa pers yang dihadiri Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, dan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri, Teguh Wardoyo, Rabu (18/9). Pada hari yang sama mereka mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo terkait dengan masalah pendidikan anak TKI tersebut.

Selama ini, mereka mendapatkan pendidikan dari lembaga semacam bimbingan tes yang berbasis di Malaysia yakni Yayasan Humana. Sebelumnya diwartakan, para guru honorer yang baru saja pulang mengajar dari Sabah setelah kontrak mereka dengan Depdiknas berakhir, sempat melaporkan bahwa pengajaran oleh Yayasan Humana sekitar 80 persen berkiblat kepada kurikulum di Malaysia. Mereka juga dididik dalam kondisi yang menurut para guru Indonesia tersebut mengenaskan serta tidak mendapatkan ijasah sehingga sulit meneruskan pendidikan.

Da'i Bachtiar mengatakan, pemerintah segera membangun sekolah Indonesia di Kinabalu. Sementara akan disewa beberapa rumah toko untuk beberapa kelas. Ke depan, pemerintah akan membeli tanah guna membangun sekolah tersebut.

Suyanto menambahkan, telah dipersipakan anggaran sekitar Rp 7 miliar untuk membeli tanah. Pembangunan sekolah tersebut akan bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI. Sekolah tersebut untuk menangani anak-anak sekitar Kinabalu saja yang berdasarkan pendataan sekitar 500 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat 170-an anak masih dalam usia sekolah. Selebihnya, anak tidak dapat masuk sekolah formal karena faktor usia.

Untuk anak-anak tersebut dan anak di kawasan perkebunan di pedalaman, pemerintah merencanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan nonformal yang nantinya dapat menginduk ke sekoolah formal di Kinabalu itu. Jumlah anak TKI di Sabah yang membutuhkan layanan pendidikan layak diperkirakan berkisar 25.000-30.000 anak.

Pemerintah juga akan memperbesar kapasitas sekolah-sekolah di wilayah Indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. "Di Nunukan dan Sebatik akan diperluas kapasitasnya. Kami berupaya menyelesaikan persoalan ini sekomprehensif mungkin. Harapannya, anak-anak dapat menikmati pendidikan yang merupakan haknya terlepas mereka sebagai warga legal atau ilegal," ujar Suyanto.

Departemen Pendidikan Nasional atau Depdiknas juga kan mengirimkan 10.000 ribu buku bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia. Hal itu agar anak tetap dapat mengikuti perkembangan kurikulum di Indonesia. Dengan adanya buku berbasis kurikulum Indonesia tersebut harapannya anak-anak tersebut tidak asing dengan yang terjadi di tanah air.





artikel 10
judul :Berani Jadi Ahli Perbankan?

JAKARTA, KOMPAS.com — Industri perbankan akan tetap eksis selama masih ada industri lainnya sehingga industri ini senantiasa dibutuhkan. Sebagai sebuah institusi pendidikan yang berpengalaman di bidang tersebut, ABFI Institute Perbanas menantang Anda, para calon mahasiswa, seberapa besar keinginan Anda mengeksplorasi talenta dan daya saing sebagai seorang ahli di bidang ini?
ABFI Institute Perbanas dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi berstandar global di bidang perbankan, keuangan, manajemen, akuntasi, serta teknologi informasi. Maka dari itulah, ketika Anda percaya untuk menimba ilmu di institusi ini, pertanyaan tersebut mestinya mudah dan lantang Anda jawab. "Besarnya keinginan tersebut sebesar keberanian saya menjawab kekhawatiran semua orang akan jatuhnya industri perbankan".
Ya, sebagai ahli perbankan yang akan "dicetak" oleh ABFI, tugas Anda adalah mampu menghilangkan kekhawatiran orang akan persoalan industri perbankan. Plus, Anda harus bisa mencarikan jalan keluarnya.
Untuk itulah, ABFI menjadikan Anda tidak semata mengenal ilmu perbankan, melainkan juga industri terkait lainnya, mulai karakteristik industri perminyakan, manufacturing, real estate, otomotif, atau penerbangan. Selain itu, wawasan tersebut juga akan diperkuat dengan poin-poin penting, seperti akuntansi dan model bisnis. Karena bila tidak mengetahui poin-poin itu, Anda tidak bisa mencarikan solusi akibat terhindar dari persoalan kredit macet.
Program studi dan kurikulum
Didukung penuh oleh perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), kehadiran ABFI Institute Perbanas bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi manusia pembelajar yang memiliki integritas dan kemampuan menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang keuangan, perbankan, serta teknologi informasi di tingkat Asia dan internasional.
Menawarkan program studi (http://www.perbanasinstitute.ac.id) diploma III, strata satu, serta strata satu lanjutan (extension), serta magister management, ABFI merancang visi ke depan (2019) sebagai Institusi Pendidikan Paling Bereputasi di Asia. Untuk kebutuhan tersebut, proses belajar mengajar ABFI didukung oleh 110 dosen tetap dan lebih dari 350 dosen tidak tetap dari berbagai perguruan tinggi terkemuka dari dalam dan luar negeri.
Materi perkuliahan di ABFI antara lain mengenai treasury, perkreditan, dan pasar modal. Pada mata kuliah perkreditan terbagi menjadi tiga, yaitu materi pengantar (introduction), menengah (intermediate), dan lanjutan (advanced). Sebagai materi studi kasusnya, mahasiswa akan mempelajari industri lainnya, seperti pabrik, otomotif, real estate, perminyakan, atau industri penerbangan. Semua materi ini dibutuhkan agar sinkron dengan bidang industri keuangan dan perbankan.

Program studi yang tersedia di kurikulum ABFI juga tetap, yaitu manajemen dan akuntansi. Di beberapa semester akhir sebelum lulus, mahasiswa diberikan penguatan berupa mata kuliah konsentrasi seperti international banking, treasury, serta operasional bank.
Untuk konsentrasi studinya, ABFI menawarkan materi konsentrasi keuangan perbankan, pasar modal, serta asuransi. Saat ini, di Indonesia asuransi belum banyak diminati. Namun di masa depan, asuransi akan maju, seperti halnya di Amerika Serikat, negara yang masyarakatnya sudah insurance minded.

Sebelum lulus, mahasiswa juga dapat mengikuti ujian sertifikasi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Perbankan. Sertifikasi tersebut adalah untuk bidang-bidang manajemen risiko dan perkreditan.
Sarana dan beasiswa
Sebagai sarana dan prasarana pendukung perkuliahan, kampus yang terletak di kawasan "segitiga emas" Kuningan, Jakarta Selatan, ini juga telah menyiapkan sejumlah fasilitas, seperti laboratorium bahasa, laboratorium komputer, bank mini, kursus TOEFL, pelatihan kerja, hot spot area, sentra ATM, lapangan olahraga futsal dan basket, dan masih banyak lagi.
"Keberhasilan ABFI selama ini tentu tidak lepas dari kontribusi segenap civitas akademika dan alumni ABFI untuk mengawal reformasi pendidikan di bidang perbankan," sambut Dr Fatchudin, di sela pelantikannya sebagai rektor baru ABFI Institute Perbanas (5/5) di Jakarta. Rektor menambahkan, bahwa ke depan ABFI tetap menjadi lembaga yang berpengaruh, kuat, dan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat luas.
Untuk itulah, setiap tahun ABFI Institute Perbanas pun selalu memberikan beasiswa kepada 300 mahasiswa. Terbuka bagi seluruh mahasiswa ABFI, Anda kah kelak calon penerimanya?
Kenapa tidak? Selama memiliki prestasi akademis, prestasi di bidang olahraga, atau organisasi kemahasiswaan, Anda laik mendapatkannya. Hanya saja, beasiswa ini "terbatas" bagi mahasiswa berprestasi tetapi terbentur pada persoalan biaya pendidikannya.




\artikel 11
judul :Bisnis Internasional, Program Studi Baru di Binus

JAKARTA, KOMPAS.com — Tahun ini Universitas Bina Nusantara (Binus) membuka sebuah program studi baru di Binus International, yaitu Bisnis Internasional (International Business). Gelar yang diberikan oleh program ini adalah sarjana ekonomi dari Universitas Binus dan bachelor of arts dari mitra universitas mancanegara.
Hal tersebut diungkapkan oleh Judi Arto, General Manager Marketing Bina Nusantara. Menurut Judi, salah satu keunikan program baru ini adalah pemberian gelar ganda dengan mitra universitas mancanegara atau gelar tunggal dengan pilihan belajar di luar negeri.
Dengan kurikulum yang komprehensif untuk mempersiapkan mahasiswa berkarier di bidang bisnis dan manajemen, fokus utama program ini adalah mengembangkan pemahaman tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh dunia bisnis di pasar internasional.
"Selain itu juga mengenai pengembangan mata kuliah dan keterampilan lintas budaya, pengembangan keterampilan berkaitan dengan tempat bekerja, serta pengambilan keputusan melalui studi kasus," kata Judi.
Menurut Judi, kompetensi lulusan yang akan dihasilkan pun diharapkan memiliki keterampilan manajemen yang dibutuhkan untuk berkarier di bidang bisnis. "Lulusan program ini juga akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berkarier di tempat kerja yang memiliki keberagaman budaya." kata Judi.
Bekerja Sebelum Wisuda
Judi menuturkan, saat ini jurusan yang tergolong paling diminati di Universitas Binus adalah Jurusan Teknik Informatika, Sistem Informasi, Desain Komunikasi Visual, Marketing Communication, Manajemen, dan Akuntasi. Selain itu, program Binus International yang menawarkan double degree (sarjana dan bachelor) juga banyak diminati oleh para calon mahasiswa.
Untuk tahun akademik 2009/2010, universitas yang memegang pengakuan manajemen mutu dari ISO 9001 dan Malcolm Baldrige ini sudah membuka pendaftaran sejak September 2008. "Pendaftaran mahasiswa baru akan kami buka sampai dengan Agustus 2009," kata Judi.
Menurut Judi, banyak cara dilakukan Binus untuk menciptakan daya tarik kampusnya di mata calon mahasiswa, salah satunya adalah pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) dengan proyek akhirnya berupa pembuatan sebuah business plan.
Selain itu, sebagai kampus yang temasuk dalam 50 Promising Indonesian Universities versi Dikti, setiap tahun kelembagaan Binus Career juga telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 1.000 perusahaan dan menawarkan lebih dari 15.000 lowongan pekerjaan untuk mahasiswa dan para lulusan universitas ini. "Bahkan, menurut survey yang dilakukan oleh Binus Career, 72 persen lulusan Binus sudah bekerja sebelum mereka diwisuda," kata Judi.




artikel 12
judul:Penggunaan Modul Pengajaran

Pengaruh Pengajaran, Bakat Teknik, Dan Kemampuan Berpikir Abstrak Terhadap Prestasi Belajar Teori Dan Praktek Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Kelompok Teknologi Dan Industri.
Oleh Zaenuddin, Abdul Muin Sibuea, Harun Sitompul, Dadang Mulyana
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengajaran dengan modul berdasarkan kompetensi (MBK), bakat teknik dan kemampuan berpikir abstark terhadap prestasi belajar teori dan praktek Pemasangan Dasar Instalasi Listrik (PDIL) pada siswa kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kelompok Teknologi dan Industri.
Metode penelitian yang digunakan adalah experimen dengan desain control group posttest only. Kelompok eksperimen merupakan pengajaran dengan MBK dan kelompok kontrol menggunakan pengajaran konvensional. Sampel penelitian adalah siswa kelas 1 SMK Kelompok Teknologi dan Industri Bidang Keahlian Teknik Elektro sebanyak 256 siswa. Teknik analisis data yang digunakan analisis varians, serta analisis pasca anava dengan teknik Tukey.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) pengajaran modul berdasarkan kompetensi (MBK) memberikan peningkatan prestasi belajar yang berbeda dengan pengajaran konvensional bagi siswa pada mata pelajaran PDIL baik untuk prestasi belajar teori maupun prestasi belajar pratek; 2) perbedaan bakat teknik yang dimiliki siswa, memberikan perbedaan prestasi belajar praktek PDIL yang dicapai siswa, namun tidak terjadi perbedaan prestasi belajar dalam pembelajar teori PDIL; 3) kemampuan berpikir abstrak yang dimiliki siswa memberikan perbedaan prestasi belajar teori PDIL, namun tidak memberikan perbedaan prestasi belajar praktek PDIL; 4) interaksi antara pengajaran, bakat teknik dan kemampuan berpikir abstrak hanya terjadi pada pelajaran teori, namun tidak terjadi pada pengajaran praktek. Hasil rancangan MBK dapat digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa dan guru untuk pengajaran PDIL. Dalam proses pengajaran dengan siswa yang memiliki bakat teknik dan kemampuan berpikir abstrak berbeda guru perlu diperhatikan proses pengajaran, sehingga kemampuan yang dimiliki siswa akan menunjang peningkatkan prestasi belajar.
Kata kunci: Pengajaran Modul, Bakat Teknik, Kemampuan
Berpikir Abstrak
(Dana DCRG-URGE, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar