Senin, 16 Maret 2009

Manajemen Kurikulum

Artikel Pertama
Judul : Plus Minus Kurikulum KTSP

Kelebihan KTSP KTSP yang hendak diberlakukan Depertemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) sesungguhnya dimaksudkan untuk mempertegas pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Artinya, kurikulum baru yang ini tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa. Menurut Fasli Jalal, pemberlakukan KTSP tidak akan melalui uji publik maupun uji coba, karena kurikulum ini telah diujicobakan melalui KBK yang diterapkan ke beberapa sekolah yang menjadi pilot project. Fasli juga berpendapat bahwa pemberlakuan Kurikulum 2006 tergantung analisis Mendiknas. Namun, kurikulum ini hanya akan diterapkan di kelas 1 di semua jenjang. Selain itu, hanya sekolah yang siap, yang menerapkan kurikulum baru ini. Kesiapan sekolah ini ditandai dengan ketersediaan sarana dan prasarana, pengalaman menerapkan KBK, dan rasio murid. Pengalaman menerapkan KBK dapat menjadi bekal suatu sekolah untuk menerapkan kurikulum baru ini dan diharapkan tahun 2009, semua sekolah telah menerapkan kurikulum ini. Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia memiliki kelebihan-kelebihan masing-masing bergantung kepada situasi dan kondisi saat di mana kurikulum tersebut diberlakukan. Menurut hemat penulis KTSP yang direncanakan dapat diberlakukan secara menyeluruh di semua sekolah-sekolah di Indonesia pada tahun 2009 itu juga memiliki beberapa kelebihan jika dibanding dengan kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 2004 atau KBK. Kelebihan-kelebihan KTSP ini antara lain: 1. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata. Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan keunggulankhas yang ada di daerahnya. Sebagai implikasi dari penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di Indonesia. Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab kebutuhan di daerah di mana sekolah tersebut berada. 2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan. Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan. 3. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa. Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnya. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa Inggris dan kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu menjadikan mata pelajaran tersebut sebagai sebuah ketrampilan. Sehingga kelak jika peserta didik di lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka tidak berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi mereka dapat langsung bekerja menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh di bangku sekolah. KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006. 4. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%. Dengan diberlakukannya KTSP itu nantinya akan dapat mengurangi beban belajar sebanyak 20% karena KTSP tersebut lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa. Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP. Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada siswa sebelunya berkisar antara 1.000-1.200 jam pelajaran dalam setahun. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jm pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit setiap jam pelajaran. Total 1.000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar.dan dalam seminggu tersebut meliputi 36-38 jam pelajaran. Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak. Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian secara alami. Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa perlu dikurangi. Meski demikian, perngurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim dengan memangkas sekian jam frekwensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas. Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan pelajaran itu. Dapat dikatakan bahwa perberlakuan KTSP ini sebagai upaya perbaikan secara kontinuitif. Sebagai contoh, kurikulum 1994 dapat dinilai sebagai kurikulum yang berat dalam penerapannya. Ketika diberlakukan Kurikulum 1994 banyak sekolah yang terlalu bersemangat ingin meningkatkan kompetensi iptek siswa, sehingga muatan iptek pun dibesarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah SDM yang tersedia belum siap, sehingga hasilnya hanya sekitar 30% siswa yang mampu menerapkan kurikulum tersebut. 5. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan. Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan itu sejak beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira. Kehadiran KTSP ini bisa jadi merupakan kabar baik bagi sekolah-sekolah plus. Sebagian sekolah-sekolah plus tersebut ada yang khawatir ditegur karena memakai bilingual atau memakai istilah kurikulum yang bermacam-macam seperti yang ada sekarang. Sekarang semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP. Sebagai contoh, Sekolah High Scope Indonesia, sebelumnya sejak awal berdiri pada 1990 telah menggunakan kombinasi kurikulum Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Kendati mendapat lisensi dari AS, namun pihaknya tetap mematuhi kurikulum pemerintah. Caranya dengan mematuhi batas minimal, namun secara optimal memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu yang tidak diatur oleh kurikulum. Misalnya tetap memberikan materi Bahasa Indonesia, namun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama. Kelemahan KTSP Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia di samping memiliki kelebihan-kelebihan juga memiliki kelemahan-kelamahannya. Sebagai konsekuansi logis dari penerapan KTSP ini setidak-tidaknya menurut penulis terdapat beberapa kelemahan-kelamahan dalam KTSP maupun penerapannya, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Pola penerapan KTSP atau kurikulum 2006 terbentur pada masih minimnya kualitas guru dan sekolah. Sebagian besar guru belum bisa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk menjabarkan panduan kurikulum itu (KTSP), baik di atas kertas maupun di depan kelas. Selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru. 2. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif merupakan salah satu syarat yang paling urgen bagi pelaksanaan KTSP. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan masih banyak satuan pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta fasilitas penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP. 3. Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan. Masih rendahnya kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP dapat disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara menyeluruh. Jika tahapan sosialisasi tidak dapat tercapai secara menyeluruh, maka pemberlakuan KTSP secara nasional yang targetnya hendak dicapai paling lambat tahun 2009 tidak memungkinkan untuk dapat dicapai. 4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurang pendapatan para guru. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan menambah persoalan di dunia pendidikan. Selain menghadapi ketidaksiapan sekolah berganti kurikulum, KTSP juga mengancam pendapatan para guru. Sebagaimana diketahui rekomendasi BSNP terkait pemberlakuan KTSP tersebut berimplikasi pada pengurangan jumlah jam mengajar. Hal ini berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar para guru. Akibatnya, guru terancam tidak memperoleh tunjangan profesi dan fungsional. Untuk memperoleh tunjangan profesi dan fungsional semua guru harus mengajar 24 jam, jika jamnya dikurangi maka tidak akan bisa memperoleh tunjangan. Sebagai contoh, pelajaran Sosiologi untuk kelas 1 SMA atau kelas 10 mendapat dua jam pelajaran di KTSP maupun kurikulum sebelumnya. Sedangkan di kelas 2 SMA atau kelas 11 IPS, Sosiologi diajarkan selama lima jam pelajaran di kurikulum lama. Namun di KTSP Sosiologi hanya mendapat jatah tiga jam pelajaran. Hal yang sama terjadi di kelas 3 IPS. Pada kurikulum lama, pelajaran Sosiologi diajarkan untuk empat jam pelajaran tapi pada KTSP menjadi tiga jam pelajaran. Sementara itu masih banyak guru yang belum mengetahui tentang ketentuan baru kurikulum ini. Jika KTSP telah benar-benar diberlakukan, para guru sulit memenuhi ketentuan 24 jam mengajar agar bisa memperoleh tunjangan. Beberapa faktor kelemahan di atas harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar pemberlakuan KTSP tidak hanya akan menambah daftar persoalan-persoalan yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita. Jika tidak, maka pemberlakuan KTSP hanya akan menambah daftar makin carut marutnya pendidikan di Indonesia.



Artikel Kedua
judul : KBK Antara harapan dan kenyataan


A. Pendahuluan Dalam sejarah penyelenggaraan pendidikan di negara kita, tercatat sebanyak lima kali perubahan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berbarengan dengan perubahan strategi belajar mengajar. Kurikulum pertama dirancang pada tahun 1968 yang menekankan pada pentingnya pembinaan moral, budi pekerti, agama, kecerdasan dan keterampilan, serta fisik yang kuat dan sehat (Sularto, 2005). Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan hasil kajian mendalam terhadap pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi dan uji coba terhadap model desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek kognisi, afektif, dan psikomotor, maka dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Seiring dengan perubahan situasi politik, tarik-menarik kepentingan pun sering terjadi sehingga mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini. Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia. Dengan demikian, perubahan kurikulum terus berubah dengan lahirnya kurikulum 1994 sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang semakin terpuruk hingga berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan hanya dengan perubahan kurikulumlah sehingga keterpurukan itu dapat didongkrat ke arah yang lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang dikenal dengan "kurikulum berbasis kompetensi". Perubahan kurikulum 1968 hingga sampai pada kurikulum 2004 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanyalah disebabkan oleh kesalahan rancangan kurikulum. Menurut hemat penulis anggapan seperti itu telah mengabaikan faktor lain yang juga ikut mempengaruhi terjadinya kegagalan itu sendiri. Beberapa faktor yang dimaksud adalah kompetensi guru dalam melaksanakan kurikulum, ketidaktersediaan sarana dan prasarana sekolah, kurangnya keterlibatan stakeholder, tidak terciptanya kerjasama yang baik antara perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan standarisasi nasional dan daerah yang tidak akurat, dan ketidakjelasan arah serta model pendidikan yang diselenggarakan. Dalam artikel sederhana ini penulis tidak bermaksud mengupas berbagai faktor yang disebutkan di atas, melainkan hanya berkisar pada tingginya harapan terhadap kurikulum dan model pembelajaran di satu sisi dan rendahnya kenyataan hasil pendidikan yang kita peroleh di sisi lain dan kemungkinan solusi yang ditawarkan guna mengatasi lebarnya gap antara desired status (status yang ingin dicapai) dan actual status (status yang sebenarnya). B. Prinsip-prinsip KBK Dalam Pelayanan Profesional Kurikulum 2004 "Kurikulum Berbasis Kompetensi" (KBK) yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip implementasi meliputi (1) kegiatan belajar mengajar, (2) penilaian berbasis kelas, dan (3) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. 1. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) Ada dua hal yang perlu ditegaskan sebagai prinsip dasar KBM. Pertama, mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Kedua, kegiatan belajar mengajar yang berorintasi pada pemberdayaan peserta didik seperti mengembangkan kreativitas, menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menciptakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat (DEPDIKNAS, 2003). Istilah mengembangkan dan memperdayakan merujuk kepada adanya pengetahuan dasar yang dibawa oleh masing-masing peserta didik untuk dikembangkan dalam lingkungan kelas. Dalam pengertian lain, tidak ada seorang anak pun yang datang ke sekolah tanpa membawa pengetahuan yang terkait dengan mata pelajaran yang hendak dipelajari. Dengan demikian, proses belajar bukan hanya berlangsung dalam lingkungan sekolah saja melainkan akan berlanjut sampai dalam rumah tangga dan masyarakat. Sebagai seorang pendidik yang hidup di negara yang sedang berkembang yang sarana belajarnya serba terbatas, penulis merasa kawatir jika beban yang dimuat dalam kurikulum berbasis kompetensi terasa jauh lebih berat dibandingkan kurikulum 1994. Dapat dibayangkan bahwa jumlah mata pelajaran dalam setiap hari yang berkisar antara tujuh sampai delapan mata pelajaran akan sangat tidak mungkin dapat dipenuhi oleh peserta didik jika setiap mata pelajaran memiliki tugas dan pekerjaan rumah sebagai mana yang tercantum dalam kurikulum. Di sisi lain terbatasnya peralatan belajar seperti komputer dan Internet akan memaksa orang tua untuk mengeluarkan dana tambahan demi untuk menyewa peralatan tersebut. Berbeda dengan Indonesia, negera-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya hampir tidak memiliki kendala yang berarti dalam mengimplementasikan model pembelajaran konstruktivisme (agak mirip dengan KBK di Indonesia) karena ditunjang oleh sarana teknologi yang sangat memadai. Setiap peserta didik memiliki peralatan komputer dan fasilitas Internet yang serba gratis di rumah. Jumlah mata pelajaran setiap hari yang hanya berkisar antara tiga sampai empat mata pelajaran dengan alokasi waktu yang cukup panjang (jam 8.30 sampai dengan jam 4 sore) serta jumlah peserta didik yang hanya 15-20 yang ditangani oleh 1 orang guru inti dan 2-3 orang guru bantu ditambah dengan sarana komputer lengkap dengan fasilitas Internetnya di setiap kelas menyebabkan efektifitas dan efisiensi kerja guru terasa lebih nyaman. Apa lagi air conditioning, AC, yang dilengkapi di setiap sudut-sudut ruangan kelas. Jika rancangan KBM yang diadopsi dari model pembelajaran konstruktivisme seperti yang dikembangkan di beberapa negara maju saat ini akan diterapkan di suatu negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia tanpa mengadaptasi dengan ketersediaan sarana dan prasarana serta adat-istiadat, budaya, dan tradisi yang dianut secara menyeluruh oleh bangsa Indonesia bukan tidak mungkin produk pendidikan yang diselenggarakan akan menuai kegagalan yang lebih parah dari keterpurukan mutu pendidikan sebelumnya. Bayangkan data dari hasil survei yang dilakukan oleh the Asian-South Pacific Bureau of Adult Education and the Global Campaign for Education, menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu menduduki rangking 10 dari 14 negara di kawasan Asia Pasifik. Jika dikalkulasi Indonesia hanya mencapai 42 dari 100 skor maksimal, atau mendapat angka E dalam komitmen kepada pendidikan dasar. Sedangkan Thailand dan Malaysia menduduki nilai A, yang kemudian diikuti Srilanka dengan nilai B. Sedangkan Filipina, Cina, Vietnam, Bangladesh, Kampuchea, dan India mendapat nilai antara C dan F. Indonesia lebih baik hanya jika dibandingkan dengan Nepal, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Pakistan (Azra dalam Republika, 7 Juli 2005). 2. Penilaian Berbasis Kelas Ketika kita berbicara masalah penilaian, model standarisasi yang menjadi patokan dasar penilaian terhadap pencapaian prestasi belajar peserta didik harus diestimasi berdasarkan tingkat kesulitan isi materi dan proses pembelajaran. Aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian mencakup kumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (product), penugasan (project), unjuk kerja (performance), dan tes tertulis (paper and pencil test). Oleh sebab itu, model penilaian bukan berdasarkan pada hasil, melainkan berorientasi pada proses. Peranan guru menjadi semakin kompleks karena bukan hanya menjadi fasilitator di dalam ruangan kelas melainkan juga menjadi designer (perancang) dari sejumlah aspek yang menjadi bahan penilaian tersebut di atas. Guru dituntut untuk mampu mendesain learning episode (tahapan-tahapan belajar) yang disusun secara sistematis dan kontinuitas, membuat agenda belajar, menyediakan kuis-kuis, menyususun modul, dan merancang rubrik yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan portfolio, product, project, performance, dan bahkan untuk paper and pencil test. Tradisi behaviorisme yang mengendepankan hasil dari pada proses menjadi beban yang sangat berat bagi kebanyakan guru di Indonesia. Perubahan yang sangat drastis untuk meninggalkan praktek-praktek behaviorisme menuju konstruktivisme yang berorientasi kepada proses seperti yang diimplementasikan melalui KBK masih sangat sulit diwujudkan. Bukan hanya itu, learning style (gaya belajar) peserta didik di negara kita yang lebih suka mendengar dan melihat menjadi hambatan tersendiri jika dihadapkan pada budaya membaca dan tradisi kerja yang sistematis dan kontinuitas. Tradisi peserta didik yang cenderung membantu kerja kerabat, saudara, dan orang tua di rumah setelah pulang dari sekolah juga akan menghambat tingkat keberhasilan mereka. Walaupun demikian, rasa optimisme untuk mengubah cara berpikir, cara pandang, dan cara kerja putra-putri bangsa Indonesia harus dilakukan sekarang ini demi untuk meraih kejayaan di masa yang akan datang. Selanjutnya, prinsip dasar penilaian berbasis kelas dapat diamati melalui keikutsertaan peserta didik dalam memberikan penilaian terhadap teman dalam satu kelompok (peer evaluation). Mereka akan dimintai penilaian terhadap kontribusi, kerja sama, serta tanggungjawab yang diberikan oleh masing-masing peserta didik dalam suatu kelompok. Hasil penilaian itu akan dibagi dengan hasil penilaian dari aspek lain oleh baik guru kelas maupun guru bantu (jika ada). Peserta didik pun berhak untuk memberikan penilaian terhadap cara kerja, pengetahuan, dan sikap guru selama berlangsungnya proses belajar mengajar. Penilaian tersebut dapat dijadikan dasar oleh kepala sekolah untuk membina kinerja guru dalam melakasanakan tugas fungsional mereka sebagai pendidik. Objektivitas penilaian peserta didik baik terhadap teman sekelompok mereka maupun terhadap guru mata pelajaran dapat dipastikan masih sangat sulit diwujudkan mengingat tradisi kasih-mengasihani masih sangat kental dalam prilaku keseharian kita. Akibatnya, rekayasa penilaian sangat mungkin terjadi apalagi antara sesama peserta didik dan bahkan mungkin antara pendidik dan peserta didik. 3. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah Prinsip dasar pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) dapat diterjemahkan dari istilah yang lebih populer digunakan seperti "kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan". Perangkat dan dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah DEPDIKNAS dapat digunakan oleh seluruh sekolah pada seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia menunjukkan adanya kesatuan dalam kebijaksanaan. Sedangkan keberagaman dalam pelaksanaan dapat menjangkau keberagaman silabus, modul, learning episode, rubrik, agenda pemebelajaran, dan bahkan berbagai pendekatan dalam menyampaikan materi pembelajaran. KBK, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya telah mengangkat peranan sekolah lebih besar dengan memberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengembangkan ilmu dan keterampilan yang dimiliki peserta didik sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan sekolah tersebut. Kewenangan ini boleh jadi akan memupuk dan memberi peluang kepada sekolah baik pendidik (guru), administrator, dan kepala sekolah untuk merancang dan mengembangankan model pembelajaran yang inovatif dan reformatif. Hal ini dapat terwujud jika sumber daya manusia yang mengelola sekolah itu lebih kompeten dalam bidang mereka masing-masing. Jika tidak, sekolah itu pun akan tertinggal jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Hasil survei dari Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka Toharuddin (Oktober 2005). Seandainya setiap sekolah di Indonesia memiliki angka kualitas guru rata-rata seperti disebutkan di atas, maka perubahan kurikulum hampir tidak akan menyentuh keinginan besar dari pemerintah dan para perancang kurikulum itu sebelum dilakukan pembenahan secara fundamental terhadap kualitas guru pada setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah. C. Solusi Alternatif Penulis menggunakan istilah solusi alternatif karena boleh jadi pemerintah, pemikir, dan perancang KBK sudah menyiapkan sejumlah solusi terhadap kemungkinan berbagai persoalan yang timbul setelah melakukan uji coba terhadap pelaksanaan KBK di beberapa sekolah di Indonesia. Walaupun demikian, apa yang ditawarkan dalam tulisan ini mudah-mudahan dapat dijadikan bahan pertimbangan demi menata dan mengembangkan sistem pendidikan di negara kita yang lebih bermutu dan bermartabat. 1. Perlunya mengadaptasi dan bukan mengadopsi kegiatan belajar mengajar dari barat Menurut hemat penulis, rumusan kegiatan belajar mengajar yang dirancang melalui KBK adalah penjelmaan dari model constructivist yang sekarang mendapat pengaruh yang sangat besar dari pemerintah federal America Serikat untuk menerapkan konsep No Child Left Behind. Konsep ini juga sedang diuji coba di Singapore yang diawali dengan modifikasi yang berarti sesuai dengan nilai-nilai yang dianut di negara tersebut. 2. Perlunya koordinasi dan kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga terkait Jika dilihat dari hasil rumusan DEPDIKNAS dalam Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, keterlibatan seluruh unsur stakeholder pendidikan seperti institusi pendidikan, institusi pembinaan guru, pusat kurikulum dan perbukuan, sekolah, orang tua, masyarakat, LSM, dewan pendidikan komite sekolah, dan perguruan tinggi kelompok asosiasi sangat diperlukan. Hanya saja, terkesan stakeholder yang disebutkan di atas hanyalah sebatas nama tanpa peran. Seharusnya gambaran wilayah kerja dan agenda kegiatan seluruh unsur yang terkait betul-betul diwujudkan agar tidak terjadi overlapping yang mengganggu pelaksanaan kurikulum itu sendiri. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa perguruan tinggi (IKIP, dan Fakultas Pendidikan yang ada di berbagai universitas) sebagai pencetak tenaga pengajar jangankan dilibatkan dalam merumuskan berbagai langkah yang diambil sedangkan sosialisasi kurikulum pun tidak sampai ke tangan mereka. Ada pun keterlibatan pihak perguruan tinggi hanya diwakili secara personal oleh pakar-pakar tertentu dan tidak melembangga secara substantif. Akibatnya, kepincangan pun terjadi. Sekolah jalan sendiri, pemerintah melakukan tambal sulam, dan perguruan tinggi merancang pembelajaran yang tidak berorientasi kepada kebutuhan sesuai kurikulum yang berlaku. Jangan heran, jika alumni sebuah fakultas pendidikan dari perguruan tinggi mengenal kurikulum setelah berkecimpung dengan sekolah di mana mereka berada. Oleh karena itu, agen KBK diharapkan beroperasi di seluruh stakeholder dengan pembagian kerja sesuai dengan kewenangan mereka. 3. Jumlah mata pelajaran di sekolah perlu ditinjau kembali Banyaknya beban peserta didik untuk menguasai sejumlah ilmu pada sekolah dasar dan menengah serta alokasi waktu yang dipersiapkan untuk satu mata pelajaran yang sangat terbatas mengakibatkan sulitnya menerapkan model pembelajaran yang berorientasi pada kumpulan kerja peserta didik (portfolio), hasil karya (product), penugasan (project), dan unjuk kerja (performance). Akibatnya, banyak aspek-aspek fundamental dari KBK yang terpaksa tidak dapat diaplikasikan dan guru sebagai pelaksana akan menjalankan tugas yang penting memenuhi pesanan kurikulm tanpa mengindahkan esensi dari kurikulum itu sendiri. 4. Sistem perekrutan dan pemberdayaan guru hendaknya dilakukan secara merata dan berkesimbungan Hasil survei dari Human Development Index (HDI) yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka menjadi alasan kuat untuk melakukan sistem pemberdayaan. Sistem pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui program sertifikasi atau program magister minor yang fokus pembinaannya hanya pada bidang studi keahlian baru yang yang mereka ajarkan di sekolah. Di sini lah salah satu pentinngnya peranan agen KBK yang beroperasi di perguruan tinggi. Jika semuanya ini dapat diwujudkan, maka harapan KBK untuk mendongkrat mutu pendidikan nasional akan menjadi kenyataan dan jurang pemisah antara desired status dan actual status akan dapat diminimize setahap demi setahap. Dengan demikian, negara kita akan semakin bermartabat dan diperhitungkan dalam kompetisi global.
Artikel Ketiga
Judul : Kurikulum Kita
Seorang siswi sebuah sekolah menengah di Surabaya tiba-tiba selama 2 hari lebih tubuhnya terserang panas hebat, kebetulan kondisi keluarganya mulai tidak tentram. Ayahnya meninggalkan karena tertarik wanita lain. Ketika melihat putrinya si Ibu bingung dibawanya ke sebuah klinik namun masih tetap saja kondisi panas tubuhnya tidak juga reda. Si ibu kemudian berinisiatif untuk mengajak bicara putrinya mungkin karena semenjak ditinggal ayahnya dia terlalu memikirkan ayahnya. Namun setelah diajak bicara sianak justru mengajak sama sekali tidak terlalu memikirkan masalah antara ibu dan ayahnya. Si Ibu semakin bingung lalu dicobanya kembali untuk bicara dengan penuh kelembutan, dan barulah terungkap kalau ternyata sang putrinya terlalu memikirkan perkembangan nilainya di sekolah.
Bercermin dari peristiwa diatas dapatlah kita petik sebuah pelajaran bagi kita bahwa jika anak didik kita benar-benar kompeten dalam memikirkan sekolahnya mereka mengalami tekanan yang begitu hebat. Tekanan yang harus dia jalankan karena tugasnya sebagai murid. Belum lagi tekanan yang harus dia terima karena beban materi yang harus dia jalani selama dia sekolah. SMU kita mempunyai beban kurikulum yang sangat padat. Belum lagi kalau sekolah yang harus menjalankan kurikulum tersebut adalah sekolah swasta keagamaan yang secara otomatis akan menambah beberapa butin materi pelajaran kedalam kurikulum yang dijalankan.
Jumlah mata pelajaran di SMU lebih kurang sebanyak 15 mata pelajaran belum termasuk pelajaran yang dipunyai oleh sekolah keagamaan, sedang sistem pelaksanaan pendidikan memakai sistem Cawu atau caturwulan. Dapat kita bayangkan betapa beratnya beban yang harus mereka jalani.
Menurut pengalaman saya (kebetulan sampai saat ini saya bekerja di salah satu SMU Islam di Surabaya) para siswa banyak mengalami keteteran dalam mengejar ketertinggalan mereka yang dimana akhirnya mereka menambalnya dengan mengikuti bimbingan belajar. Beban 15 lebih mata pelajaran harus terselesaikan dalam masing-masing cawu. Setiap cawu guru juga dibebani untuk mengadakan ulangan harian, pemberian tugas, dan Ulangan Umum. Beban ini juga mengurangi ketersampaian materi yang dibebankan dalam satu cawu. Artinya batas cawu telah habis materi/pokok bahasan belum semua tersampaikan. Murid juga akan semakin tertekan karena keterbatasan waktu dan jumlah materi yang mereka terima, jalan satu-satunya mereka mengikuti les tambahan belajar dan ini secara otomatis akan menambah beban biaya pendidikan mereka.
Disamping itu penjurusan yang diberikan di sekolah mengnengah umum sangat membebani siswa. Penjurusan baru dilakukan ketika siswa kelas tiga dengan tiga option pilihan jurusan IPA, IPS, Bahasa. Penjurusan yang baru dilakukan pada kelas tiga ini membuat siswa semakin terbebani belum lagi model penjurusannya dimana IPA harus mempelajari bebang materi yang super berat bagi pandangan siswa yaitu Matematika, Kimia, Biologi dan Fisika. Saya masih ingat ketika saya masih di SMU dulu penjurusan terbagi dalam A1, A2, A3, A4. Dimana A1 itu terfokus kepada Matematika dan Fisika, A2 pada Kimia dan Biologi, A3 pada ekonomi dan Akuntansi sedang A4 terfokus pada Bahasa dan Sastra. Menurut saya penjurusan pada zaman saya tersebut tampaknya lebih bagus apalagi jika penjurusan dilakukan pada kelas-kelas awal. Mungkin saja di lakukan penjurusan pada saat kelas satu Caturwulan ke 3. Hal kemungkinan besar dapat dilakukan apabila sekolah tersebut mau sedikit bersusah payah membangun sistem penjaringan siswa yang mengarah kesana.
Beban kurikulum juga seharusnya dikurangi. Kurikulum seharusnya diarahkan kepada kemampuan dasar siswa sejak dini sehingga sekolah-sekolah menengah tidak mubazir menelurkan generasi-generasi selanjutnya. Kemampuan dasar yang harus mulai dilihat dan dikembangkan sebelum mereka memasuki sekolah lanjutan dan sekolah menengah. Harapan ini tidaklah berlebihan sebab negara kita jarang bahkan belum banyak mencetak ilmuan-ilmuan baru. Negera kita masih mencetak generasi-generasi pekerja yang hanya siap bekerja ikut orang lain bukan siap bekerja untuk masyarakatnya.
Artikel Keempat
judul : Padatnya Kurikulum
Seorang siswi sebuah sekolah menengah di Surabaya tiba-tiba selama 2 hari lebih tubuhnya terserang panas hebat, kebetulan kondisi keluarganya mulai tidak tentram. Ayahnya meninggalkan karena tertarik wanita lain. Ketika melihat putrinya si Ibu bingung dibawanya ke sebuah klinik namun masih tetap saja kondisi panas tubuhnya tidak juga reda. Si ibu kemudian berinisiatif untuk mengajak bicara putrinya mungkin karena semenjak ditinggal ayahnya dia terlalu memikirkan ayahnya. Namun setelah diajak bicara sianak justru mengajak sama sekali tidak terlalu memikirkan masalah antara ibu dan ayahnya. Si Ibu semakin bingung lalu dicobanya kembali untuk bicara dengan penuh kelembutan, dan barulah terungkap kalau ternyata sang putrinya terlalu memikirkan perkembangan nilainya di sekolah.
Bercermin dari peristiwa diatas dapatlah kita petik sebuah pelajaran bagi kita bahwa jika anak didik kita benar-benar kompeten dalam memikirkan sekolahnya mereka mengalami tekanan yang begitu hebat. Tekanan yang harus dia jalankan karena tugasnya sebagai murid. Belum lagi tekanan yang harus dia terima karena beban materi yang harus dia jalani selama dia sekolah. SMU kita mempunyai beban kurikulum yang sangat padat. Belum lagi kalau sekolah yang harus menjalankan kurikulum tersebut adalah sekolah swasta keagamaan yang secara otomatis akan menambah beberapa butin materi pelajaran kedalam kurikulum yang dijalankan.
Jumlah mata pelajaran di SMU lebih kurang sebanyak 15 mata pelajaran belum termasuk pelajaran yang dipunyai oleh sekolah keagamaan, sedang sistem pelaksanaan pendidikan memakai sistem Cawu atau caturwulan. Dapat kita bayangkan betapa beratnya beban yang harus mereka jalani.
Menurut pengalaman saya (kebetulan sampai saat ini saya bekerja di salah satu SMU Islam di Surabaya) para siswa banyak mengalami keteteran dalam mengejar ketertinggalan mereka yang dimana akhirnya mereka menambalnya dengan mengikuti bimbingan belajar. Beban 15 lebih mata pelajaran harus terselesaikan dalam masing-masing cawu. Setiap cawu guru juga dibebani untuk mengadakan ulangan harian, pemberian tugas, dan Ulangan Umum. Beban ini juga mengurangi ketersampaian materi yang dibebankan dalam satu cawu. Artinya batas cawu telah habis materi/pokok bahasan belum semua tersampaikan. Murid juga akan semakin tertekan karena keterbatasan waktu dan jumlah materi yang mereka terima, jalan satu-satunya mereka mengikuti les tambahan belajar dan ini secara otomatis akan menambah beban biaya pendidikan mereka.
Disamping itu penjurusan yang diberikan di sekolah mengnengah umum sangat membebani siswa. Penjurusan baru dilakukan ketika siswa kelas tiga dengan tiga option pilihan jurusan IPA, IPS, Bahasa. Penjurusan yang baru dilakukan pada kelas tiga ini membuat siswa semakin terbebani belum lagi model penjurusannya dimana IPA harus mempelajari bebang materi yang super berat bagi pandangan siswa yaitu Matematika, Kimia, Biologi dan Fisika. Saya masih ingat ketika saya masih di SMU dulu penjurusan terbagi dalam A1, A2, A3, A4. Dimana A1 itu terfokus kepada Matematika dan Fisika, A2 pada Kimia dan Biologi, A3 pada ekonomi dan Akuntansi sedang A4 terfokus pada Bahasa dan Sastra. Menurut saya penjurusan pada zaman saya tersebut tampaknya lebih bagus apalagi jika penjurusan dilakukan pada kelas-kelas awal. Mungkin saja di lakukan penjurusan pada saat kelas satu Caturwulan ke 3. Hal kemungkinan besar dapat dilakukan apabila sekolah tersebut mau sedikit bersusah payah membangun sistem penjaringan siswa yang mengarah kesana.
Beban kurikulum juga seharusnya dikurangi. Kurikulum seharusnya diarahkan kepada kemampuan dasar siswa sejak dini sehingga sekolah-sekolah menengah tidak mubazir menelurkan generasi-generasi selanjutnya. Kemampuan dasar yang harus mulai dilihat dan dikembangkan sebelum mereka memasuki sekolah lanjutan dan sekolah menengah. Harapan ini tidaklah berlebihan sebab negara kita jarang bahkan belum banyak mencetak ilmuan-ilmuan baru. Negera kita masih mencetak generasi-generasi pekerja yang hanya siap bekerja ikut orang lain bukan siap bekerja untuk masyarakatnya.
Artikel Kelima
Judul :Kurikulum yang Tidak Efektif
Sekolah dalam bahasa aslinya, yakni skhole, scola, scolae, atau schola berarti 'waktu luang' atau 'waktu senggang'. Waktu senggang ini digunakan oleh orangtua Yunani untuk menitipkan anaknya kepada orang yang dianggap pintar agar memperoleh pengetahuan dan pendidikan tentang filsafat, alam, dan lain sebagainya. Anak-anak pada jaman itu menganggap sekolah sebagai suatu kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan karena mereka dapat mempelajari berbagai hal yang ingin mereka ketahui.
Kenyataan yang ada sekarang ini sangat bertolak belakang dengan hal di atas. Kebanyakan anak maupun remaja sekarang justru menganggap sekolah sebagai beban. Mengapa hal ini terjadi? Menurut pengalaman saya sebagai pelajar, institusi pendidikan seperti sekolah tidak mengajarkan hal-hal yang saya anggap menarik untuk saya pelajari, melainkan mengajarkan segala pelajaran yang ditentukan oleh kurikulum yang berlaku. Seakan-akan seluruh ajaran yang diajarkan sekolah terkurung oleh sistem kurikulum yang ada saat ini.
Hal ini tentu saja membawa berbagai efek buruk. Anak-anak yang ingin mengejar prestasi harus berusaha keras menguasai beban kurikulum yang didapat, bahkan sampai harus mengikuti berbagai les tambahan. Anak-anak remaja yang pasrah akan keadaan, seringkali berbuat hal yang buruk di luar jam sekolah seperti berkelahi/tawuran. Ini terjadi karena keengganan mereka untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka sukai. Bukan itu saja, dari pengalaman saya, tidak semua pelajaran yang saya dapat di sekolah dasar maupun menengah berguna bagi saya di perguruan tinggi, dan kemungkinan besar tidak semua pelajaran yang saya dapat di perguruan tinggi berguna bagi saya di lapangan pekerjaan. Kurikulum yang sangat tidak efektif, dan sangat banyak membuang waktu dan pikiran mengakibatkan Indonesia kekurangan sumber daya manusia yang handal.Bagaimana memperbaikinya?
Analogikan seperti ini, seorang guru ekonomi mungkin tidak dapat menjelaskan rumus Newton yang paling sederhana. Begitu pula seorang guru fisika, mungkin tidak mengerti dan hafal apa yang disebut sebagai Hukum Gossen dalam ekonomi. Padahal mereka sama-sama mempelajari hal tersebut ketika masih di sekolah menengah. Jadi jika saya bercita-cita untuk menjadi seorang ilmuwan fisika, haruskah saya mempelajari ekonomi sekolah menengah? Begitu pula sebaliknya, jika saya ingin menjadi ahli ekonomi, saya seharusnya tidak terlalu mendalami fisika.
Sistem pembelajaran saat ini masih menganut 'mempelajari semakin dalam hal yang semakin sempit'. Jadi semakin tinggi pendidikan kita, semakin kecil lingkup yang kita pelajari namun semakin dalam. Dan jika kita ubah sistem itu menjadi mempelajari lingkup yang kecil sejak dini, maka pada saat lulus seorang murid memiliki spesialisasi yang hebat dalam lingkup yang ia pelajari, dengan tidak menyia-nyiakan kemampuannya. Jika sejak dini seorang murid diberikan pelajaran yang cocok dengan bakat dan kemampuannya dan dengan tidak membebankan pelajaran lain yang tidak sesuai dengan kemampuannya, maka sudah pasti murid tersebut akan merasa nyaman dan tidak terbeban.
Mungkin pada awalnya kita harus mencontoh sistem kurikulum yang diadakan di beberapa negara maju. Di beberapa sekolah di negara-negara maju seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat murid-murid sekolah menengah dapat memilih pelajaran yang ingin dia pelajari. Sehingga pada saat lulus dari sekolah menegah tersebut, mereka tidak mengerti hal yang luas tapi dangkal seperti di Indonesia, namun hal yang khusus tapi dalam.
Jika seorang anak memiliki bakat dalam bidang fisika, biarlah ia mendalami fisika. Jika ia memiliki bakat dalam bidang ekonomi, biarlah ia mendalami ekonomi. Jika ia memiliki bakat dalam bidang olahraga, biarlah ia mendalami olahraga. Biarlah bakatnya yang menuntun arah ke mana mereka akan pergi. Jangan kurung dia dan membebani dia dalam kurikulum yang ada sekarang ini...



artike 6
judul :KBK, Tantangan Profesionalitas Guru?

Dirjen Dikdasmen Dr. Ir. Indra Djati Sidi, menyatakan bahwa tujuan pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetesni (KBK) adalah untuk menghasilkan terjadinya demokratisasi pendidikan. Hasil keluaran dari KBK adalah terciptanya para lulusan yang menghargai keberagaman. (Pikiran Rakyat, 28 April 2002).

KBK yang rencananya diberlakukan pada tahun pelajaran 2003/2004 akan melaksanakan suatu sistem pembelajaran yang (mungkin) asing bagi guru yang terbiasa menggunakan sistem klasikal. Hal itu terjadi karena di dalam KBK proses belajar mengajarnya menuntut guru dan peserta didik bersikap toleran, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan kebhinekaan serta berpikiran terbuka. Dengan demikian guru dan peserta didik dapt bersama-sama belajar menggali kompetensinya masing-masing dengan optimal.

Dengan KBK guru dituntut untuk membuktikan keprofesionalannya, mereka dituntut untuk dapat menyusun dan membuat rencana pembelajaran yang berdasarkan kemampuan dasar apa yang dapat digali dan dikembangkan oleh peserta didik. Guru harus mampu mengejawantahkan potensi diri dan bakat peserta didik sehingga mampu mencari dan menemukan ilmu pengetahuannya sendiri. Tugas guru bukan mencurahkan dan menyuapi peserta didik dengan ilmu pengetahuan, tetapi mereka hanya sebagai motivator, mediator dan fasilitator pendidikan. Guru harus mampu menyusun suatu rencana pembelajaran yang tidak saja baik tetapi juga mampu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari, membangun, membentuk serta mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupannya.

Faktor utama untuk dapat melaksanakan KBK adalah bahwa guru harus mampu mengubah dirinya sendiri. KBK pada dasarnya adalah proses belajar mengajar yang berlangsung dalam rangka pengkonstruksian dan penyusunan pengetahuan oleh peserta didik dengan cara memberi makna dan merespon ilmu pengetahuan sebelumnya. Pengkonstruksian dan penyusunan pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari/oleh dan untuk peserta didik. Dengan demikian di dalam penyusunan rencana pembelajaran guru harus mampu menyusunnya sehingga kelas berlangsung dalam suasana fun, demokratis dan terbuka.

Pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pendekatan konstruktivisme, sains dan teknologi dan pendekatan inquiri. Dengan ketiga pola pendekatan tersebut peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan suatu konsep dengan menggunakan seluruh kompetensi yang dimiliki. Ketercapaian penggalian dan penemuan kompetensi, dilakukan oleh peserta didik itu sendiri sehingga mereka mampu menghayati dan mengamalkan untuk bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rasa ingin tahu, toleransi, berpikiran terbuka, kepercayaan diri, kasih sayang, kepedulian, kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.

Pelaksanaan KBK menuntut guru harus lebih sabar, penuh perhatian dan pengertian, mempunyai daya kreatifitas yang tinggi dan dedikasi penuh. Perhatian dan pengertian dari guru kepada peserta didik akan menumbukan rasa percaya diri peserta didik kepada gurunya. Dengan demikian timbulah persahabatan ynag unik antara guru dengan peserta didik. Guru menjadi sahabat tempat bertanya, teman diskusi dan mencurahkan seluruh gagasan dan pengetahuan serta kompetensi peserta didik tanpa rasa takut atau canggung. Hubungan persahabatan yang berlangsung tetap dalam ikatan yang etis dan dinamis.

Interaksi seperti di atas dapat terwujud bila terjadi saling silang, pemberian perhatian antara peserta didik dan guru. Hal itu dapat tercapai bila guru mampu berkomunikasi dengan seimbang dan multi arah, dengan menggunakan bahasa yang akrab, bersahabat ramah serta luwes dan lugas. Guru harus mampu mengembangkan kemampuan kompetensi dirinya sendiri sebelum mampu membelajarkan peserta didik mencari, menggali dan menemukan kompetensinya. Diperlukan kemauan, kemampuan dan kesungguhan yang kuat dari guru. Bisakah?

Wow! Edun! (Orang Sunda bilang). Uraian di atas seolah membawa kita ke dalam dunia pendidikan pewayangan. Karena secara tidak langsung dalam KBK yang diperlukan bukan saja seorang guru tetapi seorang begawan. Pendidik yang mulia berhati suci dan rela mengorbankan kehidupannya hanya untuk kebaikan dan pendidikan semata-mata. Bisakah guru di negara kita mencapai tahap seperti itu? Bisakah guru bekerja dan ikhlas dan penuh perhatian kepada peserta didiknya sementara dia harus memikirkan hutang piutang kepada bank? Bisakah guru melakukan pembelajaran yang menyenangkan dan penuh persahabatan sementara dirinya sendiri diliputi oleh kebingungan dan kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? Kenyataan di lapangan menunjukan kenyataan-kenyataan pahit tersebut.

KBK adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, tetapi juga menuntut para guru untuk mempersiapkan seluruh potensi dirinya. Kesehatan dan tercapainya kesejahteraan dalam arti sesungguhnya untuk para guru harus diperhatikan dengan nyata, bukan hanya retorika. Bagaimana guru dapat mengajar dengan enerjik di dalam kelas, sementara tubuhnya lemah karena makanan yang seadanya? Untuk mencapai tujuan dilaksanakannya KBK tidak saja menuntut para guru tetapi juga diperlukan keseriusan pemerintah untuk memberikan pendapatan dan kesejahteraan yang memadai untuk para guru. Bukan masanya lagi guru diberi gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa tapi harus diberi penghargaan yang pantas dan manusiawi!

Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari kemampuan guru dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada peserta didik. Profesionalitas guru juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan gaji yang pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru telah diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang membolos karena harus banting tulang mengojekkan motor kreditannya demi sesuap nasi! Berikanlah hak dan penghargaan yang pantas! Maka para guru pun akan memberikan hal yang terbaik untuk peserta didik khususnya dan untuk negara ini umumnya! Kerelaan dan keihlasan memang diperlukan dalam profesi seorang guru, tetapi lebih diperlukan lagi kemampuan untuk mengerti dan memberi arti pada profesi itu! Tentunya dengan memberikan penghasilan yang layak oleh pemerintah kepada para guru.
Garut, 16 Juni 2003


artikel 7
judul : CTL YANG CENTIL KITA SENTIL

Perbincangan strategi Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan topik pembicaraan hangat di kalangan pendidik. Sehangat kita menghirup kopi di pagi hari. Enak diminum, harum aromanya tapi tetap berwarna hitam, penuh misteri untuk kita selidiki. Strategi pembelajaran yang diberlakukan di kelas 1 semester gasal pada tahun ajaran 2003/2004 ini, membuat bingung, mengagetkan dan menyita perhatian para guru.

Pemerintah memberlakukan KBK dengan strategi CTL dilandasi kenyataan bahwa guru kurang memiliki kompetensi, kurang profesional, dan tidak memenuhi kriteria sebagai guru sehingga kualitas pendidikan negeri ini makin terpuruk. Dengan diberlakukannya CTL, terbersit dalam sanubari seberkas harapan untuk terjadinya peningkatan mutu pendidikan di tanah air pada masa yang akan datang. CTL diberlakukan setelah dianalisis secara mendalam oleh pakar terkait, baik dari Pusat Kurikulum, Pusat Pengujian, Perguruan Tinggi dan Guru Sekolah.

Sangat disayangkan, pada pemberlakukan CTL ini sepertinya pemerintah melakukan kesalahan yang sama seperti pada pemberlakuan CBSA yang lalu. Kita tengok masa lalu, Prof Dr Connie Semiawan sebagai Ketua Pusat Kurikulum, mempromosikan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) setelah proyek ujicobanya di SD-SD Cianjur berhasil dengan baik. Aspek-aspek kognitif, psikomotorik dan afektif - bahkan emotif dengan strategi CBSA- terjalin rapih. Siswa "menemukan sendiri" pengetahuannya, apa yang ingin mereka pahami. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator yang sesekali melontarkan pertanyaan yang sekaligus menggelitik mengarahkan dan menggairahkan untuk dijawab siswa.

Program CBSA pun kemudian diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Para penerbit buku pelajaran pun "panen" dengan menerbitkan berbagai macam buku menawarkan isi tentang CBSA. Guru-guru dan Kepala Sekolah pun diberi pelatihan tentang CBSA tersebut. Namun, apa yang terjadi kemudian? Keberhasilan yang kita harapkan, jauh panggang dari api. CBSA yang seharusnya Cara Belajar Siswa Aktif seringkali berubah menjadi "Cul Budak Sina Anteng", atau menjadi "Catat Buku Sampai Abis". CBSA akhirnya justru melemahkan semangat belajar siswa, mereka melihat dan merasakan Bapak dan Ibu gurunya menjadi malas mengajar dan hanya memberi catatan dan tugas-tugas.

Ketidakberhasilan CBSA patut diselidiki dan kita waspadai jangan sampai terjadi pada CTL. Penulis menganalogikan CTL sebagai gadis cantik yang centil yang harus disentil dari awal karena bila tidak, nasibnya akan sama dengan CBSA, rest in peace. Sentilan ini terdiri dari beberapa hal yaitu: faktor tidak adanya kesiapan; guru, modelling, pelibatan siswa, lemahnya kemampuan membaca dan menulis (guru dan siswa) serta tersedianya dana pendidikan yang memadai. Bila pemerintah tidak cepat melibatkan kelima faktor tersebut bukan tidak mungkin CTL juga nantinya akan senasib dengan CBSA yang kini tinggal kenangan. Seperti iklan otomotif di televisi, nyaris tak terdengar.

Pemberlakukan CTL sepertinya tidak menyentuh persoalan dasar para guru sebagai pelaksana pendidikan di lapangan, sehingga belum tentu akan mengangkat citra dan kualitas pendidikan. Para guru hanya digiring dan dicekoki pada bagaimana menyiapkan dan mengerjakan administrasi kegiatan belajar-mengajar (KBM) atau silabus yang baik dan lengkap. Guru tidak diberikan wawasan atau pengalaman untuk memahami dan mengerti apa, bagaimana dan seperti apa CTL itu harus dilakukan di dalam kelas. Akibatnya, strategi CTL yang seharusnya sudah dilaksanakan di kelas 1 awal semester ini belum juga dilaksanakan. Guru masih belum mengerti 4WH (What, Why, Where, Who, dan How)-nya CTL. Akibatnya proses pembelajaran tetap diberlakukan dengan sistem klasikal. Ceramah. Guru beraksi dan berakting di depan kelas, murid menonton dan mendengarkan.

Pemberdayaan guru sangat penting dalam upaya mencapai pembelajaran CTL yang sesungguhnya. Guru bukan disuapi dengan teks dan konsep CTL. Diknas seharusnya memberikan contoh langsung, model guru CTL itu seperti apa. Sosok yang telah mampu melakukan CTL dengan baik, benar dan sesuai dengan konsep CTL yang sesungguhnya. Saya meyakini sampai hari ini belum ada seorang guru pun yang benar-benar memahami bagaimana seharusnya guru melakukan pembelajaran dengan CTL. Visualisasi strategi pembelajaran CTL dapat disosialisasikan dalam bentuk VCD, seperti yang dicontohkan oleh Bobby de Porter dengan Quantum Learning dan Quantum Teaching- nya. Jadi filmnya tidak kaku atau dibuat-buat. Tapi alami dan wajar. Sayangnya justeru kekhawatiran tersebut telah terjadi pada VCD CTL yang dibagikan ke sekolah-sekolah beberapa waktu lalu.

Langkah lain yang dapat dilakukan adalah pelatihan semacam workshop pendalaman CTL terhadap para guru. Dengan pelatihan tersebut guru akan belajar mengenai 4WH-nya CTL dan melakukannya di dalam kelas dengan penuh tanggung jawab. Pemberdayaan guru merupakan faktor kunci keberhasilan pelaksanaan CTL. Jika guru tidak memiliki keterampilan untuk mengubah paradigma pola mengajar sekaligus tidak bisa mengelola kelas dengan baik, ilmu seluas langitpun yang ada di kepalanya tidak bisa ditransfer dengan baik kepada siswa didiknya. Pelatihan bukan dalam bentuk ceramah, tapi dalam bentuk semiloka, diskusi serta brainstorming.

Dalam pelaksanaannya, CTL seharusnya disosialisasikan dan dikontekskan agar difahami dan dialami langsung oleh para siswa. Siswa akan merasakan kesenangan, kehangatan dan kesukaan dalam pembelajaran bila guru mampu mengkontekskan CTL. Guru dan siswa bukan "lahan eksperimen" para pemegang kebijakan bidang pendidikan semata, tetapi harus menjadi subjek eksperimen itu. Seperti diutarakan di atas bahwa CTL diberlakukan setelah dianalisis secara mendalam oleh pakar terkait, baik dari Pusat Kurikulum, Pusat Pengujian, Perguruan Tinggi dan Guru Sekolah. Tapi apakah analisis tersebut telah menyentuh jiwa siswa sebagai pembelajar? Bukankah sudah saatnya kita melihat siswa sebagai subjek didik, bukan sebaliknya? Pemberlakuan dan pelaksanaan CTL selayaknya juga melibatkan kesiapan dan kesigapan siswa sebagai pembelajar yang sesungguhnya. Sehingga bila CTL dilaksanakan oleh gurunya, siswa tidak kaget dan terjebak kembali kepada paradigma; gurunya malas karena hanya memberikan tugas dan catatan.

Faktor keempat kemungkinan kegagalan strategi CTL dalam sistem pendidikan kita adalah lemahnya kemampuan membaca dan menulis (guru dan siswa). Padahal abad 21 adalah era informasi yang membutuhkan keterampilan membaca dan menulis yang mumpuni. Manusia yang tidak mempunyai kemauan, kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis akan jauh tertinggal, terseok-seok tertinggal zaman. Para guru dan siswa di negeri ini semestinya meniru Jepang, negeri yang luluh lantak pasca tragedi Hiroshima dan Nagasaki. Negeri matahari terbit ini dapat bangkit dan menjadi negara yang sangat maju karena kegilaan membaca rakyatnya yang sangat mengagumkan. Di stasiun kereta api, di taman, bahkan di dalam kereta yang penuh sesak, dalam keadaan berdiri orang Jepang asyik membaca buku.

P. David Pearson dari Michigan State University (2003) menyatakan , "Reading comprehension is thought of as the product of decoding and listening comprehension (RC = Dec * LC), and the major task of instruction is to ensure that students master the code so that comprehension can proceed more or less by listening to what you read". Keterampilan membaca adalah pemikiran sebagai produk memecahkan kode dan mendengarkan pengertian ( RC= Dec* LC), dan tujuan instruksi utamanya adalah untuk memastikan bahwa para siswa menguasai kode sedemikian sehingga pengertian dapat berproses kurang lebih dengan mendengarkan apa yang kamu baca. Guru dan siswa harus melatih skill mereka dalam "mendengarkan" dan mengikat isi buku. Atau dengan bahasa yang lain guru dan siswa harus layak membaca buku dan menuliskan sesuatu, harus mempunyai kemampuan mengikat makna (Hernowo, Kaifa, 2001).

Sayangnya kelayakan untuk dapat mengikat makna dengan cara membaca dan menuliskan sesuatu tersebut harus dibayar mahal. Banyak sekali dari rakyat di negeri ini yang tergila-gila membaca buku, harus terbentur pada harga buku yang selangit. Mahal. Sedikit sekali orang yang mampu membeli buku yang bermutu karena tidak terjangkau isi saku. Pengadaan buku paket selayaknya dibarengi dengan pengadaan buku-buku populer dan buku "How to" yang membahas kemajuan dan perkembangan pendidikan. Sehingga kalaupun tidak terbeli, guru dan siswa dapat bersama-sama membaca di perpustakaan sekolah.

Kendala tercapainya peningkatan kualitas pendidikan dengan CTL ini pada akhirnya bermuara pada ketersediaan dana pendidikan yang memadai. Rencana pemerintah mengucurkan dana senilai Rp.20.000.000,00 (?) belum juga terealisasi. Padahal CTL telah berjalan lebih kurang tiga bulan. Masih untung bila guru yang "mencoba" melakukan strategi CTL itu melakukan swadaya dan memberdayakan dana dari siswa. Itu mungkin masih ditolerir bila pembiayaan untuk pembelajaran sedikit. Tapi bagaimana bila membutuhkan dana yang besar?

Kalaupun dana itu jadi turun, dana tersebut harus sesuai dengan peruntukannya. Dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin murni untuk pelaksanaan CTL. Kepala Sekolah harus mampu mengawasi dan melakukan kontrol dengan tegas. Karena bila tidak, bukan tidak mungkin akan terjadi akal-akalan dari guru yang nakal. Meminta dana CTL dengan melakukan mark-up terlebih dahulu demi keuntungan pribadi. Agar pengontrolan berjalan transparan, buatlah papan laporan keuangan CTL. Tempelkan di tempat yang dapat dilihat dan dimonitor oleh seluruh komponen sekolah atau masyarakat luas. Saya yakin, hal ini bukan sesuatu yang berat bila kita melakukan pekerjaan dengan menjujung tinggi kejujuran.

Sebaik apapun kurikulum pendidikan, bila kelima faktor tersebut tidak berhasil dipecahkan oleh diknas, jangan harap CTL dapat mencapai tujuannya. Mutu pendidikan tidak akan berubah, jika faktor; kesiapan guru, modelling, pelibatan para penggiat pembelajaran (siswa), lemahnya kemampuan membaca dan menulis (guru dan siswa) serta tidak tersedianya dana pendidikan yang memadai tidak dapat dimunculkan, maka pendidikan bermutu tinggi hanyalah bintang di awang-awang. Kerlap-kerlip membinarkan harapan, enak dipandang tapi tak bisa disentuh. Pendidikan hanya akan berupa sandiwara antara guru dan siswa didik semata.

*Penulis adalah guru di Pesantren Keresek Cibatu Garut



artikel 8
judul :Kurikulum Pendidikan Seks

Menyoal Kurikulum Pendidikan Seks.
Perdebatan tentang pendidikan seks di sekolah seakan tak habis dibicarakan. Kelompok yang pro menganggap pendidikan seks itu perlu untuk mencegah prilaku seks menyimpang. Kalangan yang menentang pendidikan seks beralasan justru pendidikan seks akan membuat anak yang tidak tahu tentang seks akan menyalah gunakan apa yang diketahuinya.

Dunia pendidikan terkejut dengan hasil penelitian Iip Wijayanto yang menyimpulkan bahwa 97% mahasiswi di sebuah kota pendidikan tidak perawan. sekalipun kita meragukan validitas atau tepatnya angka prosentase yang dihasilkan, tetapi hal ini cukup membuktikan bahwa seks telah disalahgunakan justru oleh orang berpendidikan.

Kasus KTD (kehamilan tak diinginkan) yang terjadi sampai 30% pada remaja, 70% pada PUS (Pasangan Usia Subur) yang mengalami kegagalan kontrasepsi. Masalah pergaulan bebas yang menjerumus kearah seks perlu di antisipasi dunia pendidikan. Dengan perkembangan dunia informasi yang semakin pesat, semua sepakat bahwa pendidikan seks perlu di sekolah.

Pendidikan seks menurut tokoh pendidikan Nasional Arif rahman Hakim adalah perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menuarut agama dan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat. Dengan demkian pendidikan ini bbukanlah pendidikan tentang how to do (bagaimana melakukan hubungan seks), atau tentang hubungan seks aman, tidak hamil dan lain sebagainya, tetapi intinya pendidikan seks di berikan sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama. Ia tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, jika tidak maka apa yang dikhawatirkan kelompok anti pendidikan seks akan terjadi. Ketika seks terlepas dari kerangka moral agama, maka kebobrokan moral kaum terpelajar justru akan semakin mewabah, sebagaimana yang di tenggarai Iip Wijayanto.

Dalam perspektif pendidikan agama (dalam hal ini; Islam), pendidikan seks dibahas dalam materi pelajaran fikih yang meliputi tentang reproduksi dan tanggung jawab agama bagi seseorang yang telah mengalami kematangan reproduksi seksualnya (baligh). Dengan mengacu fikih, maka penulis mengusulkan agar ruang lingkup kurikulum pendidikan seks antara lain: Penciptaan manusia oleh Allah (proses kejadian manusia mulai dari pembuahan), perkembangan laki- laki dan perempuan (secara fisik dan psikis), perilaku kekelaminan, dan kesehatan seksual. Rancangan ini juga penilaian kebutuhan (need assessment, evaluasi, implementasi, sosialisasi dan membuat disain kurikulum dan pengembangannya).

Di samping kurikulum yang juga harus dipersiapkan adalah guru pengajarnya. Jangan sampai pendidikan seks yang bertujuan sebagai tindakan preventif malah menjadi ajang pembahasan seks secara vulgar dan di luar konteks kependidikan.

Sedangkan informasi yang dapat diberikan mencakup: tentang masalah reproduksi, proses kelahiran, KB, perilaku menyimpang, kejahatan seks, perlindungan hukum.

Ada dua kemungkinan kurikulum pendidikan seks: berdiri sendiri atau terkait dengan mata pelajaran lain. Pendidikan seks di sekolah diintegrasikan dalam mata pelajaran: agama, olahraga, biologi (misalnya anatomi), sosiologi, antropologi, dan bimbingan karier.

Untuk mendukung kurikulum pendiidikan seks di sekolah maka kegiatan di luar sekolah juga perlu mendukungnya. Pendidikan seks dalam kegiatan OSIS dapat dicakup dalam program Keputrian, Keputraan, Pesantren Kilat, Retreat, dsb. Juga kegiatan POMG dalam bentuk seminar dan diskusi yang mengundang orangtua murid dan para ahli, bila perlu seksolog dan agamawan.

Namun demikian tenggung jawab keberhasilan pendidikan seks bukanlah semata-mata di tentukan oleh kurikulum sekolah, tetapi juga peran keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah mempunyai keterbatasan waktu dan pengawasan. Maka bimbingan keluarga dan kontrol dari masyarakat, dimana anak lebih banyak menghabiskan waktunya, mempunyai peranan lebih besar bagi terciptanya generasi yang berilmu sekaligus bermoral. Semoga

Penulis adalah Guru di SLTP Al -Islam Kartasura Sukoharjo jawa tengah. (Alumni PM Gontor dan UMS Surakarta).


artikel 9
judul : SALAH KAPRAH TENTANG PENJURUSAN KELAS DI SMU

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 770), "salah kaprah" artinya "kesalahan yang umum sekali, sehingga orang tidak merasa salah kalau melakukannya".

Tulisan ini mencoba untuk mengangkat beberapa hal yang salah kaprah tentang penjurusan kelas di SMU.

Seperti diketahui bersama, di akhir kelas dua SMU, setiap siswa akan dihadapkan pada tiga pilihan manakala mereka naik ke kelas tiga, yaitu : jurusan IPA, IPS, atau bahasa. Pilihan ini mau tidak mau, suka atau tidak suka, disengaja atau tidak disengaja, direncanakan atau tidak direncanakan, langsung atau tidak langsung harus ditentukan salah satunya : kalau tidak IPA, ya IPS, atau bahasa, lain tidak!

Sekarang-saat dibuatnya tulisan ini-mereka sudah duduk di kelas tiga SMU sesuai dengan jurusannya masing-masing. Idealnya, pemilihan jurusan itu berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan siswa; sehingga dengan itu mereka diharapkan akan berhasil dalam menyelesaikan studinya di SMU serta dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, tidak sedikit siswa yang mengambil salah satu jurusan itu hanya lantaran nilai rapor kelas dua SMU untuk jurusan tersebut telah memenuhi syarat. Misalnya, X masuk ke IPA karena nilai Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi-nya lebih baik daripada nilai Ekonomi, Sosiologi, Geografi, atau Sejarah. Demikian juga dengan Y, nilai IPSnya lebih tinggi daripada nilai IPA, maka oleh wali kelasnya dijuruskan ke IPS. Adapun Z, karena nilai bahasa (Indonesia dan Inggeris)nya lebih bagus daripada nilai IPA dan IPS, maka diarahkan ke jurusan bahasa. Padahal belum tentu X, Y, atau Z meminati dan berbakat di jurusan tersebut.

Selain itu, masih banyak persepsi siswa yang keliru tentang pilihannya itu. Umpamanya, mereka yang masuk IPA karena ingin menghindari pelajaran "hafalan" seperti di IPS. Padahal untuk memahami reaksi kimia, contohnya, siswa harus menghafal rumus unsur berkalanya. Begitu pula untuk hewan dan tumbuhan, harus hafal istilah Latinnya, ordo, genus, kelas, dan species-nya. Untuk Fisika dan Matematika pun, banyak rumus dan dalil-dalil yang mesti dihafalkan oleh siswa!

Sebaliknya, mereka yang masuk IPS menganggap bahwa di jurusan ini lebih banyak menghafal dan tidak terlalu banyak berhitung. Anggapan seperti ini tidak seluruhnya benar, sebab di IPS pun ada mata pelajaran yang berhubungan dengan hitung-menghitung, seperti Ekonomi, Akuntansi, atau Ekonometri. Berkaitan dengan "menghafal", mata pelajaran apa saja pasti akan memulai aktivitasnya dengan itu (baca : domain kognitif taxonomy Bloom dimulai dengan menghafal-recall, C1), dus, tidak hanya di IPS saja.

Kekeliruan lainnya, adanya anggapan bahwa pendidikan IPS adalah "kelas dua" dan IPA "nomor satu". Hal ini juga salah besar. Karena keberhasilan hidup seseorang tidaklah ditentukan oleh pendidikan(IPA/IPS)nya semata, melainkan lebih ditentukan oleh bagaimana kiprah dia dalam hidupnya, di lingkungannya, di masyarakatnya, bagi bangsa dan negaranya-jelasnya bagaimana seseorang bermakna (meaningful) dan berguna (useful) ditentukan oleh peranan atau kontribusinya terhadap kehidupan dalam arti luas.

Di pihak lain, bukti empirik memang masih memperlihatkan timpangnya perhatian pemerintah/masyarakat (orang tua siswa/Dewan Sekolah) terhadap pendidikan IPS. Buktinya : silahkan cari laboratorium IPS di SMU-SMU di Indonesia, niscaya kemuskilan yang akan dijumpai, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami! Tetapi hampir di semua SMU terdapat laboratorium IPA!

Itulah sekelumit kesalahkaprahan atau kelirumologi (meminjam istilah Jaya Suprana) tentang penjurusan di SMU. Mudah-mudahan dengan dimuatnya tulisan ini hal-hal seperti yang dielaborasi di atas tidak terjadi lagi, paling tidak dapat dieleminasi dari persepsi masyarakat.

(Arief Achmad M. adalah Guru SMUN 21 Bandung)


artikel 10
judul :Pengembangan KBK Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual

Pengembangan KBK Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang semakin terpuruk dengan fenomena lulusan yang kurang qualified, pemerintah telah merumuskan kurikulum berbasis kompetensi. Pada tahun 2004 ini, pemerintah akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi secara serentak di sekolah-sekolah setelah melalui uji coba sejak tahun 2001 di beberapa sekolah tertentu.

KBK memiliki konsep pendekatan pembelajaran yang berbeda dengan kurikulum 1994, yaitu berbasis kompetensi dimana fokus program sekolah adalah pada siswa serta apa yang akan dikerjakan oleh mereka dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) dan pembelajaran kontekstual. Dalam pengembangannya, seluruh elemen sekolah dan masyarakat perlu terlibat secara langsung, antara lain kepala sekolah, komite sekolah, guru, karyawan, orang tua siswa serta siswa.

Sebuah kurikulum tidak hanya sekedar instruksi pembelajaran yang disusun oleh pemerintah untuk diterapkan di sekolah masing-masing. Sinclair (2003) menegaskan bahwa kurikulum yang baik adalah yang memberi keleluasaan bagi sekolah untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik sesuai tuntutan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sekolah memiliki wewenang penuh dalam mengimplementasikan KBK dalam proses belajar mengajar.

Salah satu unsur terpenting dalam penerapan KBK sangat tergantung pada pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru mengenai strategi ini. Oleh karena itu diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan di kelas secara sederhana.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer imu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok

Dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, lebih mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.

Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual, antara lain:

1. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

4. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

6. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.

PENULIS: FIMA ROSYIDAH (Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UNY)

DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What is is and why it's here to stay. United states of America: Corwin Press, Inc.

Sinclair, Robert L. 2003. Menggagas Kurikulum: Mencari Pijakan. Yogyakarta: UNY.



artikel 11
judul :Kemanakah Kurikulum 2004 akan dibawa ?

Kalau dilihat dekade waktu yang berjalan,maka akan kita ingat bahwa tiap dekade pasti akan berganti kurikulum untuk semua jenjang sekolah,tak terkecuali kurikulum berbasis kompetensi yang di kalangan beberapa rekan guru kadang kadang diartikan"Kurikulum berbasis kebingungan"

Jangan salahkan guru guru kalau ada kata kata sepeti itu sebab sejak ada mini pilot proyek kurikulum KBK tahun 2002 pada sekolah sekolah tertentu tidak ada tindakan dan kebijakan yang real dari Policy Maker untuk meneliti,menganalisa dan akhirnya membuat sebuad conclusi yang tepat rancangan kurikulum sesuai dengan kemajuan jaman dan kebutuhan masyarakat.Atau bahkan para penentu kebijakan gamang dalam merumuskannya karena tidak ada orientasi yang jelas,kemana kurikulum kita akan berkiblat? USA,Jerman,Malasyia atau bahkan justru ke Vietnam?

Ketidakmengertian guru tentang kurikulum 2004 mungkin juga karena alasan yang lebih bersifat birokratis.Guru tidak diberikan waktu dan ruang untuk mengekspresikan kemampuannya dalam mengkritisi pendidikan yang ada terutama kurikulum.Sebagai contoh, informasi tentang kurikulum yang harus tahu terlebih dahulu para pejabat Dinas,baru ke tingkat kabupaten dan yang terakhir baru guru guru.Jadi guru di sini hanya menerima dan melaksanakan kebijakan para birokrat.Kenapa para Birokrat tidak mau belajar dari para guru dalam menentukan kurikulum melalui"Bottom Up System" dengan prisip"Among"yang dicetuskan tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara.

Sekarang guru di kelas kelas tertentu di beberapa sekolah tertentu sudah mulai menggunakan kurikulum 2004 yang belum juga disahkan.Mereka terlalu banyak menanggung beban moral dan tanggung jawab yang tinggi karena melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar tanpa ada pedoman yang jelas seperti belum adanya Pedoman Sylabus,Rencana Pembelajaran,Pedoman Penilaian,Bentuk rapor.Sementara di sisi lain mereka selalu jadi sorotan orang tua dan LSM Pendidikan yang kadang kadang tidak tahu tetapi "Sok Tahu" tentang semuanya.



artikel 12
judul :Revisi KBK -Cermin Ketidaksiapan Pemerintah dalam Mengelola Pendidikan-

Berita terakhir yang diterima adalah, Pemerintah akan segera merevisi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan segera menerbitkan kurikulum baru karena KBK dinilai malah memperberat tugas guru karena membebani guru dengan urusan administratif. Penulisan rapor yang terlalu rumit membuat guru tidak maksimal dalam mengajar.

Selanjutnya pemerintah menyiapkan kurikulum baru yang nantinya ada standar kompetensi lulusan (SKL) sehingga tiga ujian yang akan menentukan kelulusan seorang siswa, yaitu ujian guru, ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN). Kalau UN lulus, tapi US dan ujian guru tidak lulus, siswa yang bersangkutan dinyatakan tidak lulus. Guru menyelenggarakan ujian untuk kelompok mata pelajaran kepribadian, estetika, pendidikan agama, dan pendidikan jasmani/kesehatan. US untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan UN tetap untuk tiga mata pelajaran yakni matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

Bila melihat seperti apa kurikulum baru pengganti KBK nanti bukankah akan menambah kebingunan dan kesulitan bagi guru dan juga sekolah nantinya? Dan akhirnya berdampak pada masyarakat dalam hal ini orang tua dan siswa.

Sekolah direpotkan dengan adanya tiga ujian yang akan menentukan kelulusan seorang siswa, yaitu ujian guru, ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN). Otomatis siswa juga akan semakin dihantui perasaan kegagalan karena harus menyiapkan tenaga ekstra menghadapi berbagai ujian yang akan dihadapi. Guru pun semakin dipersulit karena harus menyiapkan pada tugas administratif seperti membuat soal ujian dan otomatis menyeleksinya selain tugas utamanya mengajar yang sudah sangat menyita waktunya.

Sebenarnya menurut saya KBK atau kurikulum apapun itu bagus KALAU semua pihak berperan sebagaimana mestinya. Guru janganlah dibebankan urusan administrasi dan evaluasi. Biar fungsi itu ada pada guru bidang media dan kurikulum (seperti guru BP tapi dia bertanggung jawab pada urusan media dan kurikulum sekolah). Sebab sudah ada jurusan KURIKULUM dan TEKNOLOGI PENDIDIKAN di hampir semua kampus penghasil tenaga kependidikan (baca: ex IKIP dan UPI yang sampai kini perannya belum jelas di dalam sistem pendidikan dan persekolahan).

Saya melihat seharusnya fungsi sekolah seperti rumah sakit, ketika pasien datang ke Unit Gawat Darurat sudah ada perawat, dokter, dikter bedah, ahli anastesi, apoteker yang menangani. Dokter tidak akan melakukan bedah sendiri atau anastesi sendiri karena ada yang bertanggung jawab atas itu. Begitu juga guru, SEHARUSNYA tidak bertanggung jawab terhadap tugas membuatan media, administrasi dan evaluasi karena sudah ada yang bertanggung jawab atas itu.

Sehingga mau seperti apapun kurikulum yang akan dipakai tapi bila sistem yang akan menanganinya sudah jelas dan tidak bertumpu pada tugas guru saja maka akan cepat terselesaikan.

(http://muhamadikhsan.info/?p=15)



artikel 13
judul :Perhitungan Nilai Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Berbasis Kompetensi


Menanggapi beberapa orang (guru/pembimbing dari sekolah) yang belum sepenuhnya memahami perhitungan pengolahan nilai berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Berbasis Kompetensi, saya ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut :

Pemahaman Dasar :

BSNP sesuai UU Pendidikan telah menetapkan Standar Isi pada Kurikulum Berbasis Kompetensi yang terdiri dari :

1. Standar Kompetensi

2. Kompetensi Dasar

Kedua hal ini ditetapkan dan diberlakukan SAMA untuk seluruh sekolah dalam wilayah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai konsekuensi logisnya maka semua pelaku pendidikan di tingkat UPT Sekolah WAJIB melaksanakan ketercapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tersebut.

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) :

Setiap sekolah berdasarkan otonomi yang dijamin oleh Undang-undang Pendidikan, berhak memilih dan/atau membuat indikator-indikator pencapaian Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan oleh Kurikulum.

Dengan demikian sekolah diperbolehkan membuat sendiri indikator yang menurut sekolah (dalam hal ini MGMP Mata Pelajaran Sekolah) yang cocok (sesuai) sebagai penunjuk (indikator) untuk mencapai Kompetensi Dasar dimaksud dalam Standar Isi KBK.

Indikator yang dibuat oleh sekolah (dalam hal ini adalah sekelompok Guru MGMP Sekolah) harus dihitung (dianalisis) berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang terdiri atas 3 (tiga) variable, yaitu :

1. Variabel Kompleksitas - merujuk padatingkat kesulitan pencapaian kompetensi dimaksud

2. Variabel Daya Dukung Sekolah, yang terdiri dari 4 buah sub-variabel yaitu :

2.1. Sub-Var Alat Peraga (optional)

2.2. Sub-Var Laboratorium (optional)

2.3. Sub-Var Kompetensi Guru (mandatory/wajib)

2.4. Sub-Var Perpustakaan (mandatory/wajib)

3. Variabel Intake Siswa (untuk mata pelajaran Intra Kurikuler adalah mandatory/wajib, sedangkan untuk Ekstra-Kurikuler dan Mulok tidak diperhitungkan).

Harga ketuntasan sebuah KD (Kompetensi Dasar) masing-masing sekolah ditetapkan oleh :

1. Indikator-indikator yang dipilih atau digunakan dalam Kompetensi Dasar pada Standar Isi

2. Analisis harga SKM (Standar Kompetensi Minimal) per Indikator yang digunakan pada KKM tersebut di atas.

RPP (Rancangan Paket Pembelajaran) :

Setelah KTSP ditetapkan oleh sekolah, maka Guru secara perorangan diperbolehkan merancang sendiri paket-paket pembelajaran di kelas dimana mereka mengajar. Ini disebut sebagai RPP (Rancangan Paket Pembelajaran yang dulu dikenal dengan nama Rencana Pembelajaran dan Penilaian).

Setiap Guru (mungkin) akan berbeda gaya/stylenya dalam menyusun paket pembelajarannya masing-masing sesuai dengan hak otonominya. Namun dalam hal ini, yang tidak akan berbeda adalah harga SKM KD (Kompetensi Dasar) yang telah ditetapkan berdasarkan perhitungan Analisis dari sejumlah indikator yang dipilih oleh MGMP Sekolah ybs. Harga KD sebuah mata pelajaran tidak berubah oleh perbedaan atau jumlah atau tipe paket pembelajaran yang dirancang oleh guru (perorangan).

Perhitungan Nilai

Nilai perolehan ketuntasan indikator dihitung melalui skor-skor (tanda-tanda) ketercapaian setiap tahap yang dirancang per satuan persoalan (soal) untuk mengukur ketercapaian indikator tersebut berdasarkan jenis tagihan yang berupa (tes/ulangan/tugas-tugas/pengamatan/praktik). Ketentuannya adalah :

1. Sekor tidak sama dengan nilai

2. Sekor adalah tanda (chek) untuk menandai sebuah tahapan dalam sebuah persoalan (soal) yang mengukur ketercapaian indikator Kompetensi Dasar (KD) yang berhasil atau tidak berhasil dicapai. Maka setiap sekor berharga 1 jika tercapai atau 0 jika tidak tercapai.

3. Untuk jenis tagihan Pengetahuan dan Pemahaman Konsep (PPK) sekor setiap soal (baca : persoalan) ditetapkan maksimal 9, dengan asumsi bahwa sebuah indikator haruslah bersifat operasional, dan tangible (jelas), sehingga tahapan pencapaiannya haruslah runtut, terbatas dan jelas, tidak merupakan rangkaian tahapan yang ambigous dan kompleks (banyak).

4. Untuk jenis tagihan Praktik (PRK), sekor setiap persoalan pada tagihan berjenis praktik ditetapkan 5 (lima) - jika bersifat Praktik Kualitatif, atau 1 (satu) - jika bersifat Praktik Kuantitatif, dengan asumsi bahwa tagihan berjenis praktik haruslah mengukur sebuah indikator yang secara kualitatif atau kuantitatif merupakan rangkaian kegiatan yang kasat mata (tangible), dan demonstrable. Maka tahap pencapaiannya dikatagorikan dalam range

4.1. Kualitas Ketercapaian dengan sekor : Sempurna (5), Amat Baik (4), Sedang (3), Kurang (2), Gagal (1)

4.2. Kuantitas Kemunculan dengan sekor 1 jika Tercapai atau Terlaksana dan sekor 0 jika Tidak tercapai atau Tidak terlaksana.

Nilai perolehan Siswa versus Harga Indikator versus Harga KD versus harga Standar Kompetensi Mata pelajaran

Nilai perolehan sebuah proses ketercapaian Kompetensi Dasar dihitung dari sekor-sekor indikatornya, tanpa bobot. Dengan asumsi, bahwa tingkat kesulitan sudah included dalam memperhitungkan nilai ketuntasan minimal setiap indikator yang dipilih untuk menandai ketercapaian sebuah Kompetensi Dasar dalam Standar Isi Kurikulum. Maka perhitungan bobot TIDAK relevan.

Nilai perolehan siswa TIDAK dihitung dari rata-rata semua indikator yang digunakan dalam sebuah tagihan tetapi dihitung per indikator dan dibandingkan dengan SKM indikator tersebut.

Maka nilai perolehan siswa dalam Mata Pelajaran tersebut adalah, nilai perolehan dari semua indikator yang diujikan dalam paket-paket RPP dibandingkan dengan nilai SKM dari semua indikator yang digunakan dalam menyusun KTSP Mata Pelajaran tersebut.

Perhatikan uraian contoh demi contoh di bawah ini

KTSP Kompetensi Dasar X pada Mata pelajaran XYZ , terdiri dari pilihan 4 indikator yang setelah dihitung berdasarkan 3 variabel KKM, diperoleh hitungan sebagai berikut:

1. Indikator A (SKM = 65 %)

2. Indikator B (SKM = 60 %)

3. Indikator C (SKM = 70 %)

4. Indikator D (SKM = 75 %)

Maka harga KD Mata Pelajaran tsb adalah = 67.5 % (rata-rata dari 4 indikator yang digunakan dalam KD X tsb.)

Guru Polan menetapkan RPP-nya sbb:

1. Kode Tes 1, berisi indikator A dan B (65% dan 60%)

2. Kode Tes 2, berisi indicator C, D (70% dan 75%)

3. Kode Tes 3, berisi indikator A dan D (65% dan 70%)

Maka, pencapaian ketuntasan belajar si Badu, murid pak Polan, diperhitungkan per Indikator, sebagai berikut :

a. Pada Kode Tes 1 :

Nilai perolehan Indikator A (= 60 %) dibandingkan dengan SKM Indikator

A (= 65%), Badu dinyatakan Tidak Tuntas.

Nilai perolehan Indikator B (= 55 %) dibandingkan dengan SKM Indikator

B (= 60%), badu dinyatakan Tidak Tuntas.

b. Pada Kode Tes 2:

Nilai perolehan Indikator C (= 70 %) dibandingkan dengan SKM Indikator

C (= 70%), Badu dinyatakan Tuntas.

Nilai perolehan Indikator D (= 80 %) dibandingkan dengan SKM Indikator

B (= 75%), Badu dinyatakan Tuntas.

c. Pada Kode Tes 3:

Nilai perolehan Indikator A (= 70 %) dibandingkan dengan SKM Indikator

A (= 65%), Badu dinyatakan Tuntas

Nilai perolehan Indikator D (= 70 %) dibandingkan dengan SKM Indikator

D (= 75%), Badu dinyatakan Tidak Tuntas.

Berapakan nilai ketuntasan KD X pada Mata Pelajaran XYZ itu bagi si Badu ? Yaitu rata-rata nilai ketuntasan semua indikator yang diujikan dalam RPP untuk KD X yaitu = [(60+70)/2] +70+80+[(80+70)/2] = 290 dibagi 4 (Indikator) = 72.50

Dibandingkan dengan apa ? Nilai ketuntasan tersebut dibandingkan dengan rata-rata harga atau nilai SKM semua indikator yang digunakan untuk mengukur KD X pada Mata Pelajaran XYZ tersebut yaitu : Indikator A (65%)+ Indikator B (60%)+ Indikator C (70%)+ Indikator D (75%) dibagi 4 = 67.5 %

Maka nilai ketuntasan si Badu pada Kompetensi Dasar X ini adalah Tuntas (72.50 % lebih besar daripada 67.50 %)

Perhitungan ini analog jika KD yang digunakan lebih dari 1. Perhitungan harga SKM Standar Kompetensi sebuah mata pelajaran adalah rata-rata semua indikator yang digunakan, bukan dihitung dari rata-rata SKM per KD.

Jadi, jika KD X menggunakan 4 indikator (A, B, C dan D); KD Y menggunakan 5 indikator (E, F, G, H dan I) dan KD Z menggunakan 3 indikator (J, K, dan L), berapakah nilai SKM Standar Kompetensi Mata pelajaran XYZ tersebut ?

Maka nilai SKM Standar Kompetensi Mata Pelajaran XYZ tersebut adalah rata-rata harga SKM dari semua indikator yang digunakan pada semua KD mata pelajaran XYZ tersebut, yaitu :{[(A+B+C+D)/4]+ [(E+F+G+H)/4] +[(I+J+K+L)/3]}/3. Pada contoh di atas adalah 3 Kompetensi Dasar yang seluruhnya menggunakan 12 indikator.

Maka, kesimpulannya :

1. Nilai Ketuntasan Indikator dibandingkan secara spesifik dengan SKM Indikator ybs.

2. Nilai Ketuntasan KD diperoleh dari rata-rata sejumlah indikator yang diujikan untuk mengukur KD tersebut dibandingkan dengan rata-rata SKM semua Indikator yang digunakan dalam ruang lingkup KD tersebut

3. Nilai Ketuntasan Mata Pelajaran dihitung dan dibandingkan secara utuh (tidak dipilah berdasarkan jenis tagihan PPK atau PRK), tetapi untuk pelaporan nilai pada Rapor dan Port Folio disajikan secara terpisah per jenis tagihan PPK atau PRK.

Pertanyaannya :

1. Berapakan nilai ketuntasan indikator A bagi si Badu? (Indikator A diujikan 2 kali dalam Kode Tes 1 dan Kode Tes 3).

. Nilai ketuntasan si Badu untuk Indikator A pada paket berkode tes 1 = 60%, jika dibandingkan dengan SKM Indikator A = 65 %, maka saat si Badu diukur dengan paket berkode tes 1, kesimpulannya Tidak Tuntas.

. Nilai ketuntasan si Badu untuk Indikator A pada paket berkode tes 3 = 70% dibandingkan dengan SKM Indikator A = 65 %, maka saat si Badu diukur dengan paket berkode tes 3 tsb, kesimpulannya Tuntas.

2. Berapakah nilai perolehan ketuntasan Kompetensi Dasar X (tanpa mempertimbangkan jenis tagihan PPK ataupun PRK),

. Nilai perolehan ketuntasan KD X si Badu adalah : [ (A + A)/2 + B + C + D + D)/2]/4. Mengapa dibagi 4 ? Karena ada 4 indikator yang diset-up dalam Kompetensi Dasar X tsb.

Berapakan nilai SKM Kompetensi Dasar X ? adalah rata-rata dari semua indikator yang digunakan dalam paket-paket RPP yang dirancang untuk menuntaskan Kompetensi Dasar X, yaitu. Nilai SKM KD X adalah (A + B + C + D) / 4. Mengapa dibagi 4 ? Karena ada 4 indikator yang digunakan palam merancang KTSP Kompetensi Dasar X tsb.

3. Berapakan nilai perolehan ketuntasan Standar Kompetensi Mata pelajaran XYZ (tanpa mempertimbangkan jenis tagihan) ?, yaitu rata-rata semua indikator yang diujikan dalam semua paket RPP yang terdapat semua Kompetensi Dasar yang berada dalam Standar Kompetensi Mata Pelajaran tersebut.

4. Berapakah nilai SKM Standar Kompetensi Mata pelajaran XYZ, adalah rata-rata nilai SKM semua KD yang terdapat dalam Standar Kompetensi Mata pelajaran XYZ tersebut.

Pada contoh kasus si Badu, nilai perolehan ketuntasan KD X, KD Y dan KD Z si Badu adalah =

. nilai indikator paket KD X1 (A + B) + paket KD X2 (C + D) + paket KD X3 (A + D) = X

. nilai indikator paket KD Y1 : (E + F + G) + paket KD Y2 : (H + I + F) + paket KD Y3 (G + I) = Y

. nilai indikator paket KD Z1 (J+K) = paket KD Z2 (I+J) = Z

Maka, Nilai Perolehan Ketuntasan Standar Kompetensi Mata pelajaran XYZ si Badu adalah = X + Y + Z dibagi 3, katakanlah = P.

Mengapa dibagi 3 ? Karena ada 3 buah KD dalam SK Mata pelajaran XYZ yang diujikan.

Nilai SKM Standar Kompetensi Mata pelajaran XYZ yang terdiri dari KD X, KD Y dan KD Z adalah = [( A + B + C + D)/4 ] + [(E + F + G + H)/4] +[( I + J + K + L ) / 3], dibagi 3, katakanlah = Q.

Mengapa dibagi 3 ? Karena SKM Mata Pelajaran XYZ adalah rata-rata dari SKM 3 buah KD yang ada di dalamnya.(Standar Isi).

Maka P dibandingkan dengan Q (tanpa melihat jenis tagihan PPK atau PRK) menyimpulkan Tuntas atau Tidak Tuntasnya si Badu dalam Standar Kompetensi tsb.

Perhitungan ini analog dengan perhitungan Mata Pelajaran XYZ yang terdiri dari beberapa Standar Kompetensi.

Pada rapor Bagian I, dicantumkan nilai perolehan per jenis tagihan teoretik (PPK) dan praktik (PRK - bagi mata pelajaran yang ada praktik) secara terpisah.

Pada dasarnya nilai perolehan PPK atau PRK adalah perhitungan semua indikator yang ditagih dalam paket teoretik (PPK) dan yang ditagih dalam paket praktik (PRK), berdasarkan nilai perolehan ketuntasan semua indikator yang diujikan dalam semua paket RPP.

Nilai SKM yang dicantumkan pada rapor adalah nilai SKM semua indikator yang digunakan dalam semua Kompetensi Dasar yang terdapat dalam Standar Isi Mata pelajaran tersebut.

Pada Rapor Bagian II (Keterangan Ketercapaian Kompetensi) dicantumkan nilai perolehan per Standar Kompetensi tanpa memilahnya dalam bentuk perolehan PPK atau PRK (lihat format Rapor pada SK Dirjen Nomor : 576/C/KEP/TU/2006)

Demikian, semoga dapat dipahami.

AIDA

Perancang Sistem Administrasi Sekolah (SAS) - Modul Pengolahan Nilai Berbasis Kompetensi

Catatan : SAS adalah program komputerisasi pengolahan nilai yang resmi digunakan di semua sekolah menengah atas di Provinsi DKI Jakarta.



artikel 14
judul :Menakar Integrasi IPA dalam KTSP

Suatu program pembelajaran akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan apabila direncanakan dengan baik. Ditengarai ada tiga hal yang menjadi perhatian banyak pihak dalam kegiatan pembelajaran. materi apa yang akan diajarkan, bagaimana cara mengajarkan serta bagaimana cara mengetahui bahwa proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif.

Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidkan dirancang untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan tiga hal pokok dalam pembelajaran.

Kurikulum IPA pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga dirancang sebagai pembelajaran yang berdimensi kompetensi. Sebab, IPA memegang peranan penting sebagai dasar pengetahuan untuk mengungkap bagaimana fenomena alam terjadi. Dengan begitu, IPA menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari pengetahuan yang harus dimiliki memasuki era informasi dan teknologi. IPA sekaligus memberi kontribusi besar bagi pengetahuan yang terkait dengan isu-isu global dan mutakhir

Standar kompetensi IPA untuk lulusan SMP dirumuskan dengan mempertimbangkan standar kompetensi yang telah dikuasai lulusan sekolah dasar dan juga tingkat perkembangan mental peserta didik SMP. Pengembangan kurikulum IPA merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta tuntutan desentralisasi. ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

Lebih lanjut, IPA umumnya memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan, khususnya di dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berfikir kritis, kreatif, logis dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat yang diakibatkan oleh dampak perkembangan IPA dan teknologi. Sehingga pengembangan kemampuan peserta didik dalam bidang IPA merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dunia memasuki era teknologi informasi.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidkan (KTSP) pokok pembelajaran IPA memiliki materi yang memuat kajian dimensi objek, tingkat organisasi objek dan tema atau persoalan aspek fisis, kimia dan biologi. Pada aspek biologi, IPA mengkaji berbagai persoalan yang berkait dengan berbagai fenomena pada makhluk hidup berbagai tingkat organisasi kehidupan dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Untuk aspek fisis, IPA memfokuskan diri pada benda tak hidup. Untuk aspek kimia, IPA mengkaji berbagai fenomena atau gejala kimia baik pada makhluk hidup maupun benda tak hidup yang ada di alam semesta.

Meminjam bahasanya Bentley dan Watts bahawa Pengajaran IPA dikembangkan berdasarkan persoalan atau tema IPA untuk dapat dikaji dari aspek kemampuan peserta didik yang mencakup aspek mengkomunikasikan konsep secara ilmiah, aspek pengembangan konsep dasar IPA, dan pengembangan kesadaran IPA dalam konteks ekonomi dan social . Konsep pembelajaran IPA tersebut berarti mengandung seluruh aspek yang berhubungan dengan pengetahuan untuk dapat menanggapi isu lokal, nasional, kawasan, dunia, sosial, ekonomi, lingkungan dan etika, serta menilai secara kritis perkembangan dalam bidang IPA dan teknologi serta dampaknya.

Agar peserta didik SMP dapat mempelajari IPA dengan benar, maka IPA harus dikenalkan secara utuh, baik menyangkut objek, persoalan, maupun tingkat organisasi dari benda-benda yang ada di dalam alam semesta. Dengan begitu agar peserta didik SMP dapat mengenal kebulatan IPA sebagai ilmu, maka seluruh tema dan persoalan IPA pada berbagai jenis objek dan tingkat organisasinya hendaknya kajiannya luas memenuhi keutuhannya. Dengan kata lain bahwa IPA sebagai mata pelajaran di SMP hendaknya diajarkan secara utuh atau terpadu, tidak dipisah-pisahkan antara biologi, fisika, kimia dan bumi antariksa.

Pada konteksnya IPA di SMP diajarkan dengan pemisahan antara biologi, fisika dan kimia. Ketidakutuhan konsep IPA dalam pembelajarannya sebagai ilmu yang mencakup aspek IPA, teknologi dan masyarakat tidak terlingkupi, juga secara psikologis berat bagi peserta didik SMP. Padahal, mengingat perkembangan mental peserta didik usia SMP oleh Piaget sebagian besar pada taraf transisi dan fase kongkrit ke fase operasi formal, maka diharapkan sudah mulai dilatih untuk mampu berpikir abstrak. Artinya, pembelajaran IPA di SMP secara utuh mengajak peserta didiknya untuk mulai ke arah berpikir abstrak dengan mengenalkan IPA secara utuh dengan harapan muncul upaya penyelidikan-penyelidikan ilmiah.

Menjadikan materi IPA di SMP secara terpadu seperti yang digariskan oleh Kurikulum KTSP semata untuk merespon pertanyaan kritis mengenai materi IPA sebelumnya yang hanya menekankan pada "subject matter oriented program". Sehingga, materi IPA kurikulum KTSP untuk SMP didesain untuk menjawab persoalan-persoalan pada masalah-masalah global. Sayangnya, sistem pendidikan nasional secara nyata sampai saat ini belum melahirkan secara khusus guru IPA, melainkan menghasilkan guru biologi, kimia dan fisika. Untuk itulah IPA di SMP diajarkan secara terpisah sekaligus mengakomodasi keberadaan guru biologi dan fisika.

Implementasi Pembelajaran IPA

Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20 . Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.

Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep pembelajaran IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa membuat hubungan antar cabang IPA dan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu merupakan pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep IPA dan berpikir tingkat tinggi dan memungkinkan mendorong siswa peduli dan tanggap terhadap lingkungan dan budayanya.

Dalam pembelajaran IPA hendaknya guru dapat merancang dan mempersiapkan suatu pembelajaran dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan. Dengan begitu, guru yang bertugas dapat mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan inkuari. Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan arahan guru menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandiriannya.

Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat bekerja sama, saling berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama, saling menghargai pendapat teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama.

salam,
sismanto
mkpd.wordpress.com



artikel 15
judul :Gonta-ganti Kurikulum, baikkah?

62 tahun sudah negeri ini merdeka. Cukup banyak pelajaran yang kita petik sampai usia saat ini. Begitu gagahnya pahlawan-pahlawan yang telah gugur mendahului kita dahulu. Begitu besar jasa-jasanya hingga tak bisa terbalas oleh apapun. Hanya sebuah mengenang beliau-beliau ketika kita melaksanakan upacara bendera. Hanya sebatas itu....kita bisa mengenangnya. HUT RI ke 62 tahun kemarin memberikan warna-warni di negeri ini. Warna-warni dalam mengemban visi dan misi.

Kita lihat semangat-semangat para remaja, pemuda bahkan orang tua ketika menyambut HUT Kemerdekaan RI. Begitu luar biasa dan sungguh itu merupakan wujud dari kecintaan terhadap negeri ini. Akan tetapi bagaimanakah mutu pendidikan yang ada di negeri kita saat ini? Ketika kita melihat anak-anak bangsa, anak-anak pelajar yang enggan untuk sekolah ataupun malas belajar, apakah terbesit dalam hati tuk dapat bersemangat mengubah tatanan yang ada dipendidikan negeri ini. Telah kita ketahui bersama, tentang kurikulum yang belum lama ini diganti, yang dulu dinamakan dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sekarang diganti dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Ketika kita menengok di masyarakat pedalaman, katanya sih: Kenapa buku-buku yang dulu sudah nggak berlaku untuk tahun ini? Kenapa buku LKS yang dulu berbeda bahasannya dengan buku LKS tahun ini? Kalau dulu mereka bisa menggunakan LKS-LKS yang lalu, tapi sekarang mereka harus beli dengan harga yang tak cukup murah. Akankah keluh kesah masyarakat saat ini salah mereka sendiri atau negari?Apakah ini awal dari yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya, karena si miskin hanya ingin membeli LKS pertahun saja tidak mampu. Bagaimanakah dengan mereka yang berprestasi tapi tak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, hingga akhirnya membuat mereka terjun ke dunia yang sebenarnya tidak mereka sukai.